Selasa, 23 April 2013

hama pada jagung


EKOBIOLOGI Sitophilus oryzae
Kumbang bubuk S. oryzae merupakan hama gudang utama di Indonesia. Hama ini tersebar di daerah tropis dan subtropics dan menyerang biji-bijian yang disimpan, seperti padi, beras, dan jagung
Kumbang bubuk S. oryzae mengalami metamorfosis sempurna dari stadium telur sampai menjadi imago (kumbang dewasa). Telur berwarna putih dengan panjang kira-kira 0,5 mm. Stadium telur berlangsung sekitar 7 hari. Larva tidak bertungkai, berwarna putih jernih. Larva hidup dalam biji dan merusak biji tersebut. Fase larva terjadi selama 18 hari, berwarna putih dan panjang tubuh berkisar 4-5 mm. Ketika bergerak, larva agak mengkerut. Sedang kepompongnya tampak seolah telah dewasa. Pupa dilindungi oleh kokon dan tetap berada dalam bahan makanan atau biji. Pupa dapat berubah warna tergantung pada umur pupa, dari coklat kemerah-merahan menjadi kehitaman dan bagian kepala berwarna hitam. Panjang pupa biasanya 2,5 mm dan masa pupa berlangsung selama 6 hari. Imago mempunyai kepala yang memanjang membentuk moncong (snout). Sayap mempunyai dua bercak yang berwarna agak pucat. Sayap dapat berkembang sempurna, sayap belakang berfungsi untuk terbang. Panjang tubuhnya 3,50−5 mm (Kartasapoetra 1987).
Serangan hama ini menyebabkan biji berlubang, cepat pecah dan hancur menjadi tepung. Hal ini ditandai dengan adanya tepung pada butiran yang terserang. Biji dan tepung dipersatukan oleh air liur larva sehingga kualitas biji menurun atau rusak sama sekali. Perkembangbiakan, aktivitas, dan kopulasi dilakukan pada siang hari dan berlangsung lebih lama dibandingkan dengan masa kopulasi hama gudang lainnya. Lama hidup induk hama ini berlangsung 3-5 bulan. Setiap induk mampu menghasilkan 300−400 butir telur (Kartasapoetra 1987). Menurut Kalshoven (1981), telur yang dihasilkan dapat mencapai 575 butir. Perbedaan jumlah telur disebabkan oleh beragamnya
kualitas makanan.
sitopilus zeamaisMenurut Ryoo dan Clio (1992), jenis makanan atau varietas sangat berpengaruh terhadap perilaku serangga dalam meletakkan telur. Telur diletakkan pada biji yang telah dilubangi, tiap lubang diisi satu butir telur. Masing- masing lubang selanjutnya ditutup dengan sisa gerekan. Lubang gerekan berdiameter ± 1 mm. Stadium telur berlangsung sekitar 7 hari. Larva yang terdapat dalam biji akan terus menggerek biji. Larva tidak berkaki, dan terus akan berada di dalam lubang gerekan. Demikian pula imago barunya akan tetap berada di dalam lubang sekitar 5 hari (Kartasapoetra 1987)




               Gambar imago Sithopilus oryzae
Hama Sithopilus oryzae ini termasuk hama primer pada jagung di Indonesia.



daus sitopilus jagung






Siklus hidup hama ini berlangsung 28-90 hari, tetapi umumnya sekitar 31 hari. Siklus hidup hama ini bergantung pada temperatur ruang penyimpanan, kelembapan atau kandungan air produk yang disimpan, dan jenis produk yang diserang. Pada kelembapan udara (Rh) 70% dan temperatur 18°C, siklus hidup S. oryzae dari telur menjadi dewasa atau imago mencapai 91 hari, namun pada Rh 80% dengan temperatur yang sama, siklus hidup S. oryzae hanya 79 hari (Kartasapoetra 1987). Hama ini bersifat polifag. Selain merusak butiran-butiran beras, hama juga merusak jagung, padi, dan lainnya.
Upaya Pengendalian
Penggunaan varietas tahan merupakan salah satu upaya untuk menekan dan memperkecil kerugian petani akibat serangan hama, termasuk hama gudang. Selain itu, waktu pemanenan yang tepat juga berpengaruh terhadap adanya serangan hama. Waktu panen jagung yang tepat adalah setelah masak fisiologis, yang ditandai dengan kelobot berwarna kuning dan telah kering atau terlihat lapisan hitam pada ujung biji yang melekat pada tongkol. Panen yang tepat dapat mengurangi serangan S. oryzae setelah biji disimpan. Hal yang tak kalah pentingnya ialah penyimpanan yang tepat baik ketebalan wadah dan suhu penyimpanan yang digunakan serta dengan melakukan fumigasi.




patogen busuk buah kubis


PATOGEN DAN SIKLUS PENYAKIT BUSUK BASAH KUBIS
Erwinia carotovora

Patogen
Penyakit busuk basah disebabkan oleh Bakteri Erwinia carotovora pv. Carotovora (Jones) Dye, 1978. Erwinia adalah genus yang mempunyai bulu cambuk banyak atau peritrich. Peritrich mempunyai flagel pada seluruh permukaan tubuhnya. Bakteri ini menghasilkan enzim ekstraselluler  seperti pektinase yang dapat menguraikan pektin (yang berfungsi untuk merekatkan dinding-dinding sel yang berdampingan). Dengan terurainya pektin sel-sel akan lepas satu sama lain (H. Semangun, 2000).
Erwinia carotovora merupakan bakteri berbentuk batang, bersifat gram negatif, umumnya berbentuk rantai, tidak berkapsul dan tidak berspora, dapat bergerak aktif dengan 2-5 flagella. Ukuran selnya 1,5-2,0 x 0,6-0,9 mikron (Permadi dan Sastroosiswojo, 1993). Suhu minimum untuk bakteri ini adalah 5oC, optimum 22oC, maksimum 37oC dan akan mati pada suhu 50oC (Agrios, 2005).
Klasifikasi
Kingdom                     : Bacteria
Filum                           : Preobacteria
Kelas                           : Gamma protobacteria 
Ordo                            : Enterubacteriales
Family                         : Enterubacteriaceae
Genus                          : Erwinia
Spesies                        : Erwinia carotovora
Pada konsentrasi yang rendah, bakteri Erwinia carotovora tidak mengaktifkan gen yang terkait dengan patogenisitas. Namun ketika mencapai konsentrasi yang cukup, mekanisme quorum sensing mulai berjalan dan dua set gen mulai diekspresikan. Satu set gen menghasilkan enzim yang terlibat pada pelepasan nutrisi dari inang, sementara set gen lain menghasilkan antibiotik karbapenem. Pembentukan antibiotik dimaksudkan untuk membunuh bakteri spesies lain sehingga dapat dipastikan bahwa nutrisi yang dihasilkan oleh inang hanya tersedia untuk E. carotovora. Demikian seperti dijelaskan oleh Elling Ulvestad dari Departemen Mikrobiologi dan Immunologi, The Gade Institute ..
Pemahaman ilmiah mengenai mekanisme quorum sensing saat ini semakin berkembang dan mengarah pada pemanfaatannya dalam bidang pengobatan
            
Daur Penyakit
Bakteri ini mempertahankan diri dalam tanah dan dalam sisa-sisa tanaman di lapang. Pada umumnya infeksi terjadi melalui luka atau lentisel. Infeksi dapat terjadi melalui luka-luka karena gigitan serangga atau karena alat-alat pertanian. Larva dan imago lalat buah dapat menularkan bakteri, karena serangga ini membuat luka dan mengandung bakteri dalam tubuhnya.
Di dalam penyimpanan dan pengangkutan infeksi terjadi melalui luka karena gesekan, dan sentuhan antara bagian tanaman yang sehat dan tanaman yang sakit (H. Semangun, 2000). Suhu yang optimal untuk perkembangan bakteri yaitu 27oC. pada keadaan suhu rendah dan kelembaban yang rendah bakteri akan terhambat pertumbuhannya.
Bakteri ini masuk pada jaringan daun kubis melalui hidatoda atau lubang untuk mengeluarkan dan menarik air gutasi pada cuaca sangat lembab, umumnya pada pagi hari, karena gejala ini selalu dimulai ujung tulang daun dan meluas hingga seluruh helaian daun dapat busuk (T. Martoredjo, 2010).
Bakteri busuk lunak merupakan parasit lemah yang dapat melakukan penetrasi pada inangnya hanya melalui luka misalnya pada bercak yang diinfeksi oleh patogen lainnya, luka karena gigitan serangga, atau luka karena alat pertanian yang digunakan untuk memanen kubis.
Siklus penyakit atau perkembangan penyakit dapat dijelaskan sebagai berikut. Bakteri pada awalnya masuk ke luka pada tanaman. Luka ini dapat disebabkan oleh serangga tersebut menyimpan telurnya pada tanaman kubis sehingga menyebabkan luka. Bakteri setelah masuk akan makan dan membelah diri dengan cepat serta merusak sel di sekitarnya. Hal ini menyebabkan terbentuknya cairan. Selain tiu, bakteri ini menghasilkan enzim pektinase dan selulase. Enzim peptinase dapat menguraikan peptin yang berfungsi untuk merekatkan dinding sel yang berdampingan. Dengan terurainya peptin, sel-sel akan terdesintegrasi. Enzim selulase menyebabkan merusak selulosa dan melunakkan dinding sel. Akibatnya air dari protoplasma berdifusi ke ruang antar sel. Sel kemudian mengalami plasmolisis, kolaps, dan mati. Bakteri selanjutnya bergerak menuju ruang antarsel dan membelah diri sambil mengeluarkan enzimnya sehingga infeksi semakin besar.
Akibat dari hal tersebut di atas, jaringan yang terserang kemudian melunak, berubah bentuk, dan berlendir. Massa dari bakteri yang terdapat pada cairan dalam sel sangat banyak. Akibatnya jaringan gabus yang banyak terserag penyakit ini pun rusak sehingga lendir yang mengandung banyak bakteri tersebar ke dalam tanah atau dalam penyimpanan pasca panen. Hal ini memungkinkan bakteri mengadakan kontak dengan tanaman yang sehat sehingga tanaman sehat pun akan mengalami sakit.

surjan dan multiple cropping


 BAB 1. PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang
Indonesia adalah negara yang sebagian besar penduduknya bekerja sebagai petani, utamanya petani padi baik pada lahan irigasi, lahan tadah hujan, lahan kering, lahan rawa pasang surut, dan rawa lebak. Namun sampai sekarang, 60 % produksi nasional masih dipasok dari lahan-lahan subur di Pulau Jawa yang notabene adalah lahan irigasi. Sedangkan lahan-lahan di luar Jawa, terutama lahan rawa lebak masih dipandang sebagai lahan marjinal, sehingga lahan tersebut kurang diperhatikan. Hal tersebut berakibat pada produksi maupun kontribusinya yang masih kurang.
Nampaknya produksi beras nasional kedepan tidak akan cukup bila hanya dipasok dari lahan-lahan subur saja, mengingat perkembangan penduduk yang terus naik sebesar 1,5% per tahun. Sementara itu, pertanian pada tahun 2006 baru mencapai 0,89% untuk Pulau Jawa dan 1,91% untuk Luar Jawa. Sehingga upaya peningkatan produksi sebesar dua juta ton dalam program P2BN tentu akan sulit dicapai tanpa mengikut sertakan lahan rawa lebak yang punya potensi sangat besar, tetapi pemanfatannya belum optimal (Alihamsyah dan Ar-Riza, 2004).
Hal diatas akan semakin nampak jika dikaitkan dengan berbagai kendala atau masalah yang dihadapi dalam tahun-tahun terakhir. Menurut Pasaribu (2007), sedikitya ada sembilan masalah yang dihadapi Indonesia dalam mengembangkan bidang pertanian yakni degradasi lahan dan air, alih fungsi lahan, adanya fragmentasi lahan pertanian, adanya krisis infrastruktur, adanya variabilitas iklim, adanya krisis SDM pertanian, adanya krisis sarana produksi, krisis pembiayaan, serta adanya krisis kualitas produksi dalam bidang pertanian.
Kondisi yang telah terjadi sekarang sangat merisaukan masa depan sistem pertanian Indonesia. Sebenarnya, petani padi lahan rawa telah mempunyai pengalaman yang diperoleh dari berbagai pengamatan dan kegiatan yang telah dikerjakan dalam masa yang lama dari generasi ke generasi, sehingga mereka mempunyai kearifan dalam mengatasi berbagai masalah lingkungan, yang sering disebut sebagai ”kearifan ekologi” maupun ”kearifan lokal” (Soemarwoto,1982). Sehingga kearifan lokal tersebut dapat dimanfaatkan sebagai sumber inspirasi untuk menciptakan inovasi teknologi baru dalam memajukan pembangunan pertanian, khususnya di lahan rawa.
Sistem pertanian yang baik dilakukan di lahan rawa ialah sistem surjan. Sistem surjan merupakan suatu cara pengelolaan tanah dan air yang disesuaikan dengan kondisi alam setempat wilayah itu berada. Keberhasilan usaha tani di lahan rawa sangat ditentukan oleh kondisi cuaca setempat dan daerah sekitar karena berpengaruh langsung pada kondisi air rawa. Air rawa yang menyurut secara perlahan akan memudahkan petani untumenentukan saat tanam yang tepat, tetapi air rawa yang menyurut berfluktuasi tidak teratur akibat curah hujan yang sangat fluktuatif, sehingga akan menyulitkan petani dalam menentukan saat tanam yang tepat (Ar-Riza 2000).
Sistem pertanian surjan dilakukan dengan menanam tanaman lebih dari satu jenis atau dikenal dengan multiple croping. Sistem pertanaman ini memilki kelebihan yakni mampu menghasilkan beberapa produk dalam sekali pemanenan karena tanamannya beragam. Misalnya multiple croping padi sawah dan jagung dengan sistem surjan di lahan rawa. Multiple croping di lahan rawa dengan sistem surjan tersebut akan dijelaskan pada makalah ini.

1.2 Tujuan
Tujuan dari pembuatan makalah ini yaitu untuk mengetahui cara penerapan multiple cropping tanaman padi sawah dengan jagung di lahan rawa dengan sistem surjan yang mengarah pada pertanian berkelanjutan.







BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA


2.1    Sistem Pertanaman Multiple Cropping
Pertanaman ganda (Multiple Cropping) adalah suatu sistem pertanaman atau usahatani yang mengusahakan dua atau lebih tanaman budidaya pada suatu luasan lahan tertentu (......). Tujuan pertanaman ganda ini adalah untuk meningkatkan produktivitas lahan dan mengurangi resiko kegagalan panen.
Adapun bentuk-bentuk pertanaman ganda, terbagi atas :
a.    Tumpang Sari (Intercropping)
Sistem tumpang sari yaitu sistem bercocok tanaman pada sebidang tanah dengan menanam dua atau lebih jenis tanaman dalam waktu yang bersamaan. Sistem tumpang sari ini, disamping petani dapat panen lebih dari sekali setahun dengan beraneka komoditas (deversifikasi hasil), juga resiko kegagalan panen dapat ditekan, intensitas tanaman dapat meningkat dan pemanfaatan sumber daya air, sinar matahari dan unsur hara yang ada akan lebih efisien. Ada tiga jenis bertanam tumpang sari yakni :
1.      Tanaman campuran (Mixed Cropping) adalah penanaman dua atau lebih jenis tanaman secara bersama-sama di atas lahan yang sama dengan tidak memperhatikan jarak tanam.
2.      Tanaman baris (Row Intercropping) di atas lahan yang sama ditanam dua atau lebih tanaman dengan mempertimbangkan baris-baris dan jarak tanam tertentu.
3.      Tanam tumpang sari pita/jalur  (Strip Intercropping) di atas lahan yang sama ditanam dua atau lebih tanaman  dalam jalur-jalur yang ditentukan. Jenis sistem tumpangsari ini sering disebut sebagai system surjan.
b.    Tumpang Gilir
Sistem tumpang gilir merupakan cara bercocok tanaman dengan menggunakan 2 atau lebih jenis tanaman pada sebidang tanah dengan pengaturan waktu. Penanaman kedua dilakukan setelah tanaman pertama berbunga. Sehingga nantinya tanaman bisa hidup bersamaan dalam waktu relatif lama dan penutupan tanah dapat terjamin selama musim hujan.

2.2 Kelebihan dan Kekurangan Multiple Cropping
2.2.1 Kelebihan Multiple Cropping
Adapun kelebihan yang diperoleh dari sistem pertanaman multiple cropping adalah sebagai berikut :
a.    Mengurangi serangan OPT (pemantauan populasi hama).
Hal ini dikarenakan tanaman yang satu dapat mengurangi serangan OPT lainnya. Misalnya bawang daun dapat mengusir hama aphids dan ulat pada tanaman kubis karena mengeluarkan bau allicin.
b.    Menambah kesuburan tanah.
Dengan menanam kacang-kacangan maka kandungan unsur N dalam tanah bertambah karena adanya bakteri Rhizobium yang terdapat dalam bintil akar. Dengan menanam tanaman yang mempunyai perakaran berbeda, misalnya tanaman berakar dangkal ditanam berdampingan dengan tanaman berakar dalam, tanah disekitarnya akan lebih gembur. Selain itu, akibat dari seringnya pengolahan tanah menjadikan tanah menjadi subur dan gembur.
c.    Mendapat hasil panen beragam yang menguntungkan
Menanam dengan lebih dari satu tanaman tentu menghasilkan panen lebih dari satu atau beragam tanaman. Pemilihan ragam tanaman yang tepat dapat menguntungkan karena jika satu jenis tanaman memilik inilai harga rendah dapat ditutupi oleh nilai harga tanaman pendamping lainnya
d.   Meminimalkan hama dan penyakit tanaman.
Sistem multiple cropping dibarengi dengan rotasi tanaman yang dapat memutuskan siklus hidup hama dan penyakit tanaman. Menanam tanaman secara berdampingan dapat mengurangi hama penyakit tanaman salah satu pendampingnya. Misalnya : bawang daun yang mengeluarkan baunya dapat mengusir hama ulat pada tanaman kol atau kubis.


e.    Menjaga kelembaban tanah
Hal ini dsebabkan tanah selalu terlindung dari cahaya matahari terik, sehingga penguapan air tanah berkurang.
f.     Memperbaiki gizi
Dengan jumlah produk yang beragam diharapkan produk tersebut aman dan menyehatkan dengan cukupnya kandungan  protein, mineral dan vitamin.
g.    Meratakan dan mendayagunakan tenaga kerja keluarga tani sepanjang tahun
Semakin banyak macam tanaman yang ditanam, maka semakin banyak pula tenaga kerja yang difungsikan, sehingga terjadi pemerataan pekerjaan dan mampu mengurangi tingkat pengangguran.

2.2.2   Kekurangan Multiple Cropping
Selain memilki kelebihan, sistem pertanaman multiple cropping memilki beberapa kekurangan diantaranya sebagai berikut :
a.       Terjadi persaingan unsur hara antar tanaman
b.      Pertumbuhan tanaman akan saling menghambat

2.3    Pengertian Sistem Surjan
Sistem budidaya surjan adalah salah satu sistem pertanaman campuran yang dicirikan oleh perbedaan tinggi permukaan bidang tanam pada suatu luasan lahan (....). Perbedaan ketinggian ini minimal 50 cm.
Dalam bahasa Inggris, sistem ini disamakan dengan alternating bed system. Bidang tanam ini dibuat memanjang sehingga dari atas akan tampak seperti garis berselang-seling, karena masing-masing bidang tanam yang berbeda tingginya ditanami oleh komoditi tanam yang berbeda. Dari bentuk garis-garis inilah nama surjan dipakai. Hal ini dikarenakan mirip dengan pola strip pada pakaian tradisional berbahan lurik dari Yogya.
Dalam sistem surjan, bidang yang rendah disebut lembah dan yang tinggi disebut bukit. Lembah biasanya ditanami padi pada musim hujan. Pada musim kemarau, lembah ditanami palawija. Hal ini brtujuan untuk memanfaatkan sisa kelembaban air yang tersisa. Bagian bukit dapat ditanami bermacam-macam komoditi, biasanya palawija atau rumput pakan ternak.
Di beberapa tempat di Jawa yang memiliki lahan sawah, bagian bukit ditanami pohon buah-buahan, seperti mangga atau jeruk. Pada tempat-tempat yang sering mengalami surplus air pada musim penghujan, bagian lembah digunakan sebagai pengontrol kelebihan air, menjadi penampung kelebihan air. Tanaman yang tumbuh di bagian bukit akan selamat dari genangan air yang tinggi.

2.4 Kelebihan dan Kekurangan Sistem Surjan
2.5 Penerapan Multiple Cropping pada Sistem Surjan




















BAB 3. PEMBAHASAN


Penataan lahan perlu dilakukan untuk membuat lahan tersebut sesuai dengan kebutuhan tanaman yang akan dikembangkan. Dalam melakukan penataan lahan perlu diperhatikan hubungan antara tipologi lahan, tipe luapan, dan pola pemanfaatannya. Penataan lahan erat hubungannya dengan sistem petanian yang akan digunakan. Hal itu dikarekan apabila sistem pertaniannya sesuai dengan keadaan lingkungan, maka akan memberikan dampak yang posistif, terutama pada tingkat produktivitas dan jumlah produksi.
Sistem pertanian yang telah diterapkan masyarakat cukup banyak dan telah disesuaikan dengan keadaan lingkungan masing-masing daerah. Salah satunya ialah sistem pertanian surjan. Sistem surjan adalah salah satu contoh usaha penataan lahan untuk melakukan diversifikasi tanaman di dataran rendah seperti lahan rawa. Berdasarkan sistem pembuatan, surjan dapat dibagi menjadi dua cara pembuatan yaitu :
1.    Yang dibuat sekaligus
2.    Yang dibuat secara bertahap (tukungan).
Dalam pembuatan sitem pertanian surjan diperlukan tenaga kerja yang banyak, sehingga juga memerlukan biaya yang besar. Oleh karena itu, petani tradisional banyak memilih cara bertahap dengan membuat tukungan atau gundukan. Dengan dimensi awal lebar bawah 2-3 m, tinggi 0,5-0,6 m dan setiap musim panen dilebarkan dan ditinggikan. Apabila tanaman yang dibudidayakan cukup besar, maka tukungan ini dihubungkan atau tersambung memanjang satu  sama lain membentuk surjan.
Pembuatan sistem pertanian surjan juga disesuaikan dengan jenis tanah yang ada. Untuk tanah sulfat masam, potensial pengolahan tanah dan pembuatan surjan sebaiknya dilakukan secara hati-hati dan bertahap. Guludan dibuat secara bertahap dan tanahnya diambil dari lapisan atas yang dimaksudkan untuk menghindari oksidasi pirit. Untuk tanah gambut, tekstur lapisan tanah dibawahnya sangat menentukan dalam pola pemanfaatan lahannya. Arah surjan disarankan memanjang timur-barat agar tanaman (padi) pada bagian tabukan mendapat penyinaran matahari yang cukup. Untuk mempertahankan bentuk dan produktivitasnya, surjan setiap musim atau setiap tahun dilibur atau disiram lumpur yang diambil dari sekitarnya.
Penerapan sistem surjan umumnya dilakukan di lahan rawa. Dalam upaya untuk meningkatkan daya guna lahan rawa, dapat dikembangkan dengan tanaman padi dan non padi (multiple croping). Tanaman padi yang dimaksid ialah padi sawah yang di tumpang sari dengan tanaman jagung. Tanaman padi dapat ditanam di areal sawah, sedangkan tanaman jagung dapat ditanam di lahan keringnya. Prinsip pengelolaan seperti ini disebut dengan pengelolaan multiple cropping pada sistem pertanian surjan di lahan rawa.
Menurut Anwarhan (1986), tujuan dari penerapan multiple cropping antara tanaman padi dan jagung dengan sistem surjan di lahan rawa adalah sebagai berikut :
1.    Untuk diversifikasi tanaman
2.    Menjaga agar tanah tidak menjadi asam
3.    Mengurangi bahaya kekeringan
4.    Mengurangi keracunan akibat genangan
5.    Mengurangi resiko kegagalan dalam budidaya
6.    Meningkatkan pendapatan petani melalui penanaman secara multiple cropping

A.      Pengelolaan Lahan Rawa dengan Sistem Surjan
Sistem pertanian surjan merupakan suatu cara pengelolaan tanah dan air yang disesuaikan dengan kondisi alam setempat. Namun, yang perlu diperhatikan dalam sistem tersebut adalah penerapan pola tanam tumpang sari (multi croping) yang berkelanjutan dan produktif dalam waktu lama, sehingga mampu memenuhi kebutuhan generasi masa depan. Dengan penerapan sistem surjan, maka lahan akan menjadi lebih produktif dengan menghasilkan produk yang beragam. Hal tersebut dikarenakan pada lahan surjan akan tersedia dua tatanan lahan, yaitu : (1) lahan tabukan yang tergenang untuk menanam padi, (2) lahan guludan sebagai lahan kering untuk tanaman jagung.
Penerapan sistem surjan di daerah dataran rendah berupa rawa, dalam pengelolaannya perlu dilakukan dengan cermat sesuai dengan prinsip pengelolaan yang tepat. Hal tersebut dikarenakan tiap kondisi lahan yang memiliki berbagai kendala agrofisik. Genangan air di lahan dataran rendah dapat dibedakan yang dipengaruhi oleh air pasang dan yang hanya dipengaruhi oleh curah hujan. Sehingga, karena pengaruhnya berbeda, maka akan sedikit berbeda pula dalam penerapannya.
Surjan merupakan sistem berbentuk lajur-lajur yang terdiri atas tanah tinggi sebagai bedengan atau guludan, yang berselang-seling dengan tanah rendah sebagai tabukan atau parit saluran. Penampang melintang berbentuk trapesium atau empat pesegi panjang yang tergantung macam tanah yang membentuknya dan dinyatakan dalam kemiringan. Ada dua macam cara untuk menentukan jarak antar parit surjan. Cara pertama, surjan dipandang sebagai lahan dengan irigasi parit (furrow irrigation) dan cara kedua guludan surjan sebagai lahan budi daya tanaman, dikelola secara intensif dengan dukungan kecukupan air sepanjang hari.
Dalam penerapan sistem pertanian surjan, surjan bagian bawah atau tabukan mempunyai ukuran lebih lebar dari parit surjan sempit. Ukuran bagian bawah antara lain 5-15 m, 12-14 m atau 10-20 m dan lajur ini dialokasikan untuk ditanami padi sawah. Sedangkan bagian atas dengan ukuran dari 3-6 m dan tinggi guludan yakni 0,6 m. Lajur ini ditanami tanaman jagung atau tanaman lain, khususnya hortikultura guna menerapkan sistem multiple croping di lahan rawa. Oleh karena itu, selain memanfaatkan lahan rawa yang dinilai marjinal, tumpang sari dengan sistem surjan juga mampu memperbaiki ketahanan pangan ke arah keberlanjutan.

B.  Pengeloaan Irigasi dan Drainase pada Sistem Surjan
Prinsip pengelolaan sistem surjan dilahan rawa terutama harus mampu mengelola sistem irigasi dan drainasenya. Hal ini dikarenakan lahan rawa merupakan daerah dataran rendah yang memilki kelebihan air dalam jumlah yang banyak , sehingga dibutuhkan saluran drainase guna mengoptimalkan kebutuhan air tanaman. Di samping itu, persiapan pembuatan irigasi dimaksudkan agar pemberian air ke petak lahan dapat dilaksanakan dengan baik, terutama bagi guludan atau bagian atas. Sehingga, sistem irigasi dan drainase sangat penting di lahan pertanian surjan, namun yang paling penting ialah sistem drainasenya karena lahan rawa memiliki kelebihan air yang cukup banyak.
Beberapa yang perlu diperhatikan dalam persiapan pembuatan irigasi dengan sistem surjan dilahan rawa :
a.    Jaringan yang terdiri dari bangunan dan saluran dipastikan berfungsi dengan baik dengan pemeliharaan dan perbaikan seperlunya.
b.    Untuk musim penghujan khususnya, saluran pembuangan atau drainase harus benar-benar berfungsi dengan baik, dengan pemeliharaan dan perbaikan, serta kelebihan air hujan dapat dibuang.
c.    Kesiapan kegiatan operasi dan pemeliharaan yang dilkelola oleh organisasi P3A, sesuai dengan kebutuhan dan pola tanam.
Rencana pemberian air di petak surjan dan tahapan pemeliharaan yang sesuai dengan tingkatan teknis pembagian dan pemberian air, dibedakan atas tiga macam, yakni :
a.    Jaringan sederhana atau belum teknis. Jenis ini belum ada bangunan tersier, saluran pembawa dan pembuang belum terpisah. Setiap sawah dapat mengambil air langsung dari saluran tersier. Air dapat dialirkan ke petak, dan kelebihan air dapat dibuang.
b.    Jaringan semiteknis. Jenis ini telah memiliki bangunan tersier, saluran pembawa dan pembuang sudah terpisah. Sekelompok sawah mempunyai satu tempat pengambilan di saluran tersier, air dapat diatur namun belum dapat diukur.
c.    Jaringan teknis. Jenis ini bangunan tersier sudah ada, saluran pembawa dan pembuang sudah terpisah, dapat untuk rotasi baik antar sub tersier atau antar petak kuarter, air dapat diatur dan diukur.

C.  Pengaturan Pola Tanam pada Sistem Surjan
Dalam melakukan budidaya, perlu adanya penyusunan pola pertanaman pada satu petak lahan dalam siklus satu tahun dan pelaksanaan masa tanam musim penghujan atau kemarau. Hal ini ditetapkan dengan jadwal tanam sesuai dengan program jaringan utama. Sistem surjan berkembang di daerah irigasi di tempat- tempat tertentu sesuai dengan kondisi setempat yang mendukung, misalnya penanaman jagung dengan irigasi sederhana, semiteknis maupun teknis. Tanaman jagung ini dibudidayakan di musim kemarau dengan sistem surjan sempit, sedangkan penanaman padi dilaksanakan di musim penghujan.

D.  Penanaman dengan Multiple Cropping pada Sistem Surjan
Rencana diversifikasi tanaman pada surjan lebar dilakukan dengan sistem multiple cropping dengan cara tumpang sari di areal lahan. Pada areal tabukan yang tergenang digunakan untuk penanaman tanaman padi. Hal ini dikarenakan tanaman padi memerlukan banyak air. Sedangkan pada areal guludan yang kering ditanam tanaman jagung. Ini dikarenakan tanaman jagung tidak memerlukan banyak air. Pada surjan sempit dengan program tanam palawija atau sayuran di guludan dapat ditanam dengan intensitas tanam sesuai dengan kebiasaan dan kondisi setempat. Pada guludan dapat pula ditanam tanaman industri seperti kopi, jahe yang ditumpang sarikan dengan palawija atau sayuran.

E.       Pelaksanaan Sistem Surjan di Lahan Rawa/lebak 
Lahan rawa semakin penting peranannya dalam upaya mempertahankan swasembada beras dan mencapai swasembada bahan pangan lainnya. Hal ini mengingat semakin berkurangnya lahan subur untuk area pertanian di Pulau Jawa akibat alih fungsi lahan ke perumahan dan keperluan non pertanian lainnya. Potensi lahan rawa di Indonesia mencapai 14 juta hektar, terdiri dari rawa dangkal seluas 4.166.000 ha, rawa tengahan seluas 6.076.000 ha, dan rawa dalam seluas 3.039.000 ha (Adhi, et al., dalam Rafieq, 2004). Sebagian lahan rawa ini belum dimanfaatkan untuk usaha pertanian sehingga potensi pengembangannya masih sangat besar.
Rawa adalah wilayah daratan yang mempunyai genangan hampir sepanjang tahun, minimal selama tiga bulan dengan tinggi genangan minimal 50 cm. Rawa yang dimanfaatkan atau dibudidayakan untuk pengembangan pertanian, termasuk perikanan dan peternakan disebut lahan rawa lebak. Rawa yang sepanjang tahun tergenang atau dibiarkan alamiah disebut rawa monoton, sedangkan jika kedudukannya menjorok masuk jauh dari muara laut/sungai besar disebut rawa pedalaman. Atau dapat juga diartikan dengan sawah rendahan yang tergenang secara periodik sekurang-kurangnya tiga sampai enam bulan secara kumulatif dalam setahun, dan dapat kering atau lembab tiga bulan secara komulatif dalam setahun.
Rawa secara khusus diartikan sebagai kawasan rawa dengan bentuk wilayah berupa cekungan dan merupakan wilayah yang dibatasi oleh satu atau dua tanggul sungai (levee) atau antara dataran tinggi dengan tanggul sungai. Bentang lahan rawa menyerupai mangkok yang bagian tengahnya paling dalam dengan genangan paling tinggi. Semakin ke arah tepi sungai atau tanggul semakin rendah genangannya. Pada musim hujan genangan air dapat mencapai tinggiantara 4-7 meter, tetapi pada musim kemarau lahan dalam keadaan kering, kecuali dasar atau wilayah paling bawah. Pada musim kemarau muka air tanah di lahan rawa lebak dangkal dapatmencapai > 1 meter sehingga lebih menyerupai lahan kering (upland).
Lahan rawa dipengaruhi oleh iklim tropika basah dengan curah hujan antara 2.000-3.000mm per tahun dengan 6-7 bulan basah (bulan basah = bulan yang mempunyai curah hujan bulanan> 200 mm) atau antara 3-4 bulan kering (bulan kering = bulan yang mempunyai curah hujan bulanan.
Potensi pertanian di lahan rawa cukup luas dan beragam. Watak dan ekologi masing-masing lokasi dan tipologi lahan rawa merupakan faktor penentu dalam penyusunan pola tanamdan jenis komoditas yang dibudidayakan. Pola tanam dan jenis komoditas yang dikembangkan dilahan rawa dapat didasarkan pada tipologi lahan.
Lahan rawa sebagian besar dimanfaatkan untuk pengembangan budidaya padi yang dapat dipilah dalam pola (1) padi sawah timur (sawah rintak) dan (2) padi sawah barat (sawah surung). Sawah timur pada musim hujan tergenang sehingga hanya ditanami pada musim kemarau. Sawah timur ini umumnya ditanami padi rintak, yaitu padi sawah irigasi yang berumur pendek (high yielding variety) seperti varietas IR 42, IR 64, IR 66, cisokan, ciherang, cisanggarung, mekongga, kapuas, lematang, margasari (tiga varietas terakhir merupakan padi spesifik rawa pasang surut) dengan hasil rata-rata 4-5 ton per hektar.
Lahan rawa mempunyai peran penting dalam upaya mempertahankan swasembada beras dan mencapai swasembada pangan lainnya mengingat semakin berkurangnya lahan subur untuk area pertanian. Kata lebak diambil dari bahasa jawa yang berarti lembah atau tanah rendah. Rawa lebak secara khusus diartikan sebagai kawasan rawa dengan bentuk wilayah berupa cekungan dan merupakan wilayah yang dibatasi oleh satu atau dua tanggul sungai atau antara dataran tinggi dengan tanggul sungai.
Pada musim hujan genangan air dapat mencapai tinggi antara 4-7 meter, tetapi pada musim kemarau lahan dalam keadaan kering, kecuali dasar atau wilayah paling bawah. Pada musim kemarau, muka air tanah di lahan rawa lebak dangkal dapat mencapai kurang dari satu meter sehingga menyerupai lahan kering. Lahan rawa lebak dipengaruhi oleh iklim tropika basah dengan curah hujan antara 2.000-3.000 mm per tahun denga 6-7 bulan basah (bulan basah adalah bulanyang mempunyai curah hujan bulanan lebih dari 200 mm) atau antara 3-4 bulan kering (bulan kering adalah bulan yang mempunyai curah hujan bulanan kurang dari 200 mm).

F.   Sistem Pertanaman Multiple Cropping Padi Sawah dan Jagung dengan Sistem Surjan di Lahan Rawa
Multiple cropping atau tumpang sari adalah penanaman beberapa jenis tanaman dalam satu areal lahan secara bersama ataupun berurutan. Umumnya penanaman tumpang sari dilaksanakan di lahan-lahan subur karena dinilai lebih menguntungkan. Akan tetapi, karena luasan lahan-lahan subur semakin sedikit akibat alih fungsi lahan, sehingga diperlukan suatu inovasi tumpang sari tanaman di lahan-lahan marjinal, misalnya lahan rawa. Penerapannya dengan sistem pertanian surjan.
Dalam sistem pertanian surjan di lahan rawa, yang terpenting dilakukan ialah pengaturan drainase dan irigasinya. Hal itu dikarenakan lahan rawa memiliki kelebihan air yang cukup banyak, sehingga pembuangan air harus dilakukan secara kontinyu agar jumlah air sesuai dengan kebutuhan tanaman. Jumlah air yang paling banyak ialah di daerah bagian bawah atau tabukan yang merupakan tempat penanaman padi sawah. Walaupun padi sawah membutuhkan air yang cukup banyak, namun bila berlebih akan berakibat buruk pada tanaman. Sedangkan di bagian atas atau guludan merupakan tempat penanaman jagung dan bagian tersebut tidak digenangi air. Sehingga, irigasi diutamakan pada bagian atas atau guludan agar tanaman tidak kekurangan air.
Penerapan sistem surjan di lahan rawa merupakan suatu pemanfaatan lahan marjinal, sehingga lahan tersebut mampu memberikan produk yang beragam karena ditanami beberapa jenis tanaman. Dampak penerapan sistem tumpang sari di lahan surjan ialah mampu mengangkat nilai ekonomi masyarakat dan mampu mengatasi masalah pangan serta memperbaiki ketahanan pangan nasional.


















BAB 4. PENUTUP

Lahan rawa mempunyai potensi yang besar dan berpeluang besar bagi pengembangan usaha pertanian sekaligus untuk peningkatan pendapatan petani. Potensi dan peluang tersebut dapat di aktualisasikan dengan cara melakukan kegiatan penataan lahan dan komoditas, berdasar karakteristiknya yaitu dengan menerapkan sistem pertanaman multiple cropping dengan menggunakan sistem surjan. Penataan lahan sistem surjan dengan multiple cropping ini telah berkembang cukup pesat di lahan rawa seperti di Kalimanatan Selatan. Hal ini dikarenakan selain dapat mendukung usaha pertanian diversifikasi juga dapat meningkatkan pendapatan petani. Di sejumlah daerah lainnya yang mempunyai lahan rawa, pada umumnya belum mempunyai informasi detail tentang teknologi penataan lahan sistem surjan, sehingga usaha pertaniannya masih bersifat monokultur dengan pendapatan yang masih relatif rendah.
Penataan lahan perlu dilakukan untuk membuat lahan tersebut sesuai dengan kebutuhan tanaman yang akan dikembangkan. Dalam melakukan penataan lahan perlu diperhatikan hubungan antara tipologi lahan, tipe luapan, dan pola pemanfaatannya. Sistem surjan adalah salah satu contoh usaha penataan lahan untuk melakukan diversifikasi tanaman di lahan rawa. Berdasarkan sistem pembuatan, surjan dapat dibagi menjadi dua cara pembuatan yaitu (1) yang dibuat sekaligus, dan (2) yang dibuat secara bertahap (tukungan).
Sistem surjan merupakan suatu cara pengelolaan tanah dan air yang disesuaikan dengan kondisi alam setempat. Namun yang perlu diperhatikan dalam menggunakan system ini adalah penerapan pola tanam tumpang sari ( multi croping ) yang berkelanjutan dan produktif dalam waktu lama. Dengan penerapan system surjan, maka lahan akan menjadi lebih produktif karena pada lahan tersebut akan tersedia dua tatanan lahan, yaitu : (1) lahan tabukan yang tergenang (digunakan untuk menanam padi adatu digabungkan dengan budidaya ikan) (2) lahan guludukan sebagai lahan kering(digunakan untuk budidaya palawija, buah-buahan, tanaman tahunan/perkebunan).

DAFTAR PUSTAKA

Ali, Rachman. 1984. Sistem Surjan di Kabupaten Daerah Tingkat II Demak, Jawa Tengah

Anwarhan dan S. Sulaiman. 1985. Pengembangan Pola Usahatani di Daerah Lahan Pasang Surut dalam rangka peningkatan Produksi Tanaman Pangan. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 4(4).

Ar-Riza, I. 2002. Peningkatan Produksi Padi Lebak. Makalah Seminar Nasional. Perhimpunan Agronomi Indonesia, PERAGI, tanggal 29-30 Oktober 2002 di Bogor.

Balittra. 2004. Balai Penelitian Pertanian Lahan rawa. Laporan tahunan 2005

Dinas Pertanian dan Hortikultura Kabupaten Tanjung Jabung Timur. 2007. Laporan Tahunan tahun 2006

Nazemi, S. Saragih dan Y. Rina. 2003. Laporan akhir proyek penelitian sumber daya lahan rawa. Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa. Banjar baru.

Purwanto, S. 2006. Kebijakan Pengembangan Lahan Rawa Lebak. Dalam prosiding seminar nasional Pengelolaan Lahan Terpadu. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya lahan pertanian. Banjarbaru

Rina, Y, Noorginayuwati dan S.Antar lina. 2006. Analisis Finansial Usahatani Jeruk pada Sistem Surjan di Lahan Pasang Surut. Jakarta : Gramedia Pustaka

Swamps-II. 1991. Farming Systems in Indonesia’s tidal swamps. Res.Highlights 1987- 1990. AARD-Swamps-II project. Jakarta: Oxword

Widjaya, Adhi, dkk. 1992. Sumberdaya Lahan Pasang Surut, Rawa dan Pantai: Potensi, Keterbatasan dan Pemanfaatan. Dalam prosiding “Pertemuan Nasional Pengembangan Lahan Pertanian Pasang Surut dan Rawa . Cisarua, 3- 4 Maret 1992.