1.1 Latar
Belakang
Indonesia adalah negara yang
sebagian besar penduduknya bekerja sebagai petani, utamanya petani padi baik
pada lahan irigasi, lahan tadah hujan, lahan kering, lahan rawa pasang surut, dan
rawa lebak. Namun sampai sekarang, 60 % produksi nasional masih dipasok dari
lahan-lahan subur di Pulau Jawa yang notabene adalah lahan irigasi. Sedangkan
lahan-lahan di luar Jawa, terutama lahan rawa lebak masih dipandang sebagai
lahan marjinal, sehingga lahan tersebut kurang diperhatikan. Hal tersebut
berakibat pada produksi maupun kontribusinya yang masih kurang.
Nampaknya produksi beras nasional kedepan
tidak akan cukup bila hanya dipasok dari lahan-lahan subur saja, mengingat perkembangan
penduduk yang terus naik sebesar 1,5% per tahun. Sementara itu, pertanian pada
tahun 2006 baru mencapai 0,89% untuk Pulau Jawa dan 1,91% untuk Luar Jawa.
Sehingga upaya peningkatan produksi sebesar dua juta ton dalam program
P2BN tentu akan sulit dicapai tanpa mengikut sertakan lahan rawa lebak yang
punya potensi sangat besar, tetapi pemanfatannya belum optimal (Alihamsyah dan
Ar-Riza, 2004).
Hal diatas akan semakin nampak jika
dikaitkan dengan berbagai kendala atau masalah yang dihadapi dalam
tahun-tahun terakhir. Menurut Pasaribu (2007), sedikitya ada sembilan masalah
yang dihadapi Indonesia dalam mengembangkan bidang pertanian yakni degradasi
lahan dan air, alih fungsi lahan, adanya fragmentasi lahan pertanian, adanya
krisis infrastruktur, adanya variabilitas iklim, adanya krisis
SDM pertanian, adanya krisis
sarana produksi, krisis
pembiayaan,
serta adanya krisis kualitas
produksi dalam bidang pertanian.
Kondisi
yang telah terjadi sekarang sangat merisaukan masa depan sistem pertanian Indonesia.
Sebenarnya,
petani padi lahan rawa
telah mempunyai pengalaman
yang diperoleh dari berbagai pengamatan dan kegiatan yang telah dikerjakan
dalam masa
yang lama dari generasi ke generasi,
sehingga mereka mempunyai
kearifan dalam mengatasi berbagai
masalah lingkungan, yang sering disebut sebagai ”kearifan ekologi” maupun
”kearifan lokal”
(Soemarwoto,1982).
Sehingga kearifan
lokal tersebut
dapat dimanfaatkan sebagai
sumber inspirasi
untuk menciptakan
inovasi
teknologi
baru dalam memajukan pembangunan
pertanian, khususnya di lahan rawa.
Sistem pertanian yang baik dilakukan
di lahan rawa ialah sistem surjan. Sistem surjan merupakan suatu cara
pengelolaan tanah dan air yang disesuaikan dengan kondisi alam setempat wilayah
itu berada. Keberhasilan usaha tani di lahan
rawa sangat ditentukan oleh kondisi cuaca setempat dan daerah sekitar karena berpengaruh
langsung pada kondisi air rawa.
Air rawa yang menyurut secara perlahan
akan memudahkan
petani untuk menentukan
saat tanam yang tepat, tetapi air rawa yang menyurut berfluktuasi
tidak teratur akibat curah hujan yang sangat fluktuatif, sehingga akan
menyulitkan petani dalam menentukan saat tanam yang tepat (Ar-Riza 2000).
Sistem
pertanian surjan dilakukan dengan menanam tanaman lebih dari satu jenis atau
dikenal dengan multiple croping. Sistem pertanaman ini memilki kelebihan yakni
mampu menghasilkan beberapa produk dalam sekali pemanenan karena tanamannya
beragam. Misalnya multiple croping padi sawah dan jagung dengan sistem surjan
di lahan rawa. Multiple croping di lahan rawa dengan sistem surjan tersebut
akan dijelaskan pada makalah ini.
1.2 Tujuan
Tujuan dari pembuatan makalah ini
yaitu untuk mengetahui cara penerapan multiple cropping tanaman padi sawah dengan
jagung di lahan rawa dengan sistem surjan yang mengarah pada pertanian
berkelanjutan.
BAB 2.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sistem Pertanaman Multiple Cropping
Pertanaman
ganda (Multiple Cropping) adalah suatu sistem pertanaman atau usahatani
yang mengusahakan dua atau lebih tanaman budidaya pada suatu luasan lahan
tertentu (......). Tujuan pertanaman ganda ini adalah untuk meningkatkan
produktivitas lahan dan mengurangi resiko kegagalan panen.
Adapun
bentuk-bentuk
pertanaman ganda, terbagi atas :
a.
Tumpang Sari (Intercropping)
Sistem
tumpang sari yaitu
sistem bercocok tanaman pada sebidang tanah dengan menanam dua atau lebih jenis
tanaman dalam waktu yang bersamaan. Sistem tumpang sari ini, disamping petani
dapat panen lebih dari sekali setahun dengan beraneka komoditas (deversifikasi
hasil), juga resiko kegagalan panen dapat ditekan, intensitas tanaman dapat
meningkat dan pemanfaatan sumber daya air, sinar matahari dan unsur hara yang
ada akan lebih efisien. Ada tiga jenis bertanam tumpang sari yakni :
1. Tanaman
campuran (Mixed Cropping) adalah penanaman dua atau lebih jenis tanaman
secara bersama-sama di atas lahan yang sama dengan tidak memperhatikan jarak
tanam.
2. Tanaman
baris (Row Intercropping) di atas lahan yang sama ditanam dua atau lebih
tanaman dengan mempertimbangkan baris-baris dan jarak tanam tertentu.
3. Tanam
tumpang sari pita/jalur (Strip Intercropping) di atas lahan yang
sama ditanam dua atau lebih tanaman dalam jalur-jalur yang ditentukan.
Jenis sistem tumpangsari ini sering disebut sebagai system surjan.
b.
Tumpang Gilir
Sistem tumpang gilir merupakan cara bercocok tanaman
dengan menggunakan 2 atau lebih jenis tanaman pada sebidang tanah dengan
pengaturan waktu. Penanaman
kedua dilakukan setelah tanaman pertama berbunga. Sehingga nantinya tanaman
bisa hidup bersamaan dalam waktu relatif lama dan penutupan tanah dapat
terjamin selama musim hujan.
2.2
Kelebihan dan Kekurangan Multiple Cropping
2.2.1 Kelebihan
Multiple Cropping
Adapun kelebihan yang diperoleh dari
sistem pertanaman multiple cropping adalah sebagai berikut :
a.
Mengurangi serangan OPT (pemantauan populasi hama).
Hal ini dikarenakan tanaman yang
satu dapat mengurangi serangan OPT lainnya. Misalnya bawang daun dapat mengusir
hama aphids dan ulat pada tanaman kubis karena mengeluarkan bau allicin.
b.
Menambah kesuburan tanah.
Dengan menanam kacang-kacangan maka kandungan
unsur N dalam tanah bertambah karena adanya bakteri Rhizobium yang terdapat
dalam bintil akar. Dengan menanam tanaman yang mempunyai perakaran berbeda,
misalnya tanaman berakar dangkal ditanam berdampingan dengan tanaman berakar dalam,
tanah disekitarnya akan lebih gembur. Selain itu, akibat dari seringnya pengolahan tanah menjadikan tanah menjadi subur dan gembur.
c. Mendapat
hasil panen beragam yang menguntungkan
Menanam dengan lebih dari satu
tanaman tentu menghasilkan panen lebih dari satu atau beragam tanaman.
Pemilihan ragam tanaman yang tepat dapat menguntungkan karena jika satu jenis
tanaman memilik inilai harga rendah dapat ditutupi oleh nilai harga tanaman
pendamping lainnya
d. Meminimalkan
hama dan penyakit tanaman.
Sistem multiple cropping dibarengi
dengan rotasi tanaman yang dapat memutuskan siklus hidup hama dan penyakit
tanaman. Menanam tanaman secara berdampingan dapat mengurangi hama penyakit tanaman
salah satu pendampingnya. Misalnya : bawang daun yang mengeluarkan baunya dapat
mengusir hama ulat pada tanaman kol atau kubis.
e.
Menjaga
kelembaban tanah
Hal ini dsebabkan tanah selalu terlindung dari
cahaya matahari terik, sehingga penguapan air tanah berkurang.
f.
Memperbaiki
gizi
Dengan jumlah produk yang beragam
diharapkan produk tersebut aman dan menyehatkan dengan cukupnya kandungan protein, mineral dan
vitamin.
g.
Meratakan dan
mendayagunakan tenaga kerja keluarga tani sepanjang tahun
Semakin banyak macam tanaman yang
ditanam, maka semakin banyak pula tenaga kerja yang difungsikan, sehingga
terjadi pemerataan pekerjaan dan mampu mengurangi tingkat pengangguran.
2.2.2 Kekurangan Multiple Cropping
Selain memilki kelebihan, sistem
pertanaman multiple cropping memilki beberapa kekurangan diantaranya sebagai
berikut :
a. Terjadi
persaingan unsur hara antar tanaman
b. Pertumbuhan
tanaman akan saling menghambat
2.3 Pengertian Sistem Surjan
Sistem
budidaya surjan adalah salah satu sistem pertanaman
campuran yang dicirikan oleh perbedaan
tinggi permukaan bidang tanam pada suatu luasan lahan (....). Perbedaan
ketinggian ini minimal 50 cm.
Dalam bahasa Inggris, sistem
ini disamakan dengan alternating bed system. Bidang tanam ini dibuat
memanjang sehingga dari atas akan tampak seperti garis berselang-seling, karena
masing-masing bidang tanam yang berbeda tingginya ditanami oleh komoditi tanam
yang berbeda. Dari bentuk garis-garis inilah nama surjan dipakai. Hal ini dikarenakan
mirip dengan pola strip pada pakaian tradisional berbahan lurik dari Yogya.
Dalam sistem surjan, bidang yang rendah disebut
lembah dan yang tinggi disebut bukit. Lembah biasanya ditanami padi pada musim
hujan. Pada musim kemarau, lembah ditanami palawija. Hal
ini brtujuan untuk memanfaatkan sisa kelembaban air yang tersisa. Bagian bukit
dapat ditanami bermacam-macam komoditi, biasanya palawija atau rumput pakan
ternak.
Di beberapa tempat di Jawa yang
memiliki lahan sawah, bagian bukit ditanami pohon buah-buahan,
seperti mangga
atau jeruk. Pada
tempat-tempat yang sering mengalami surplus air pada musim penghujan, bagian
lembah digunakan sebagai pengontrol kelebihan air, menjadi penampung kelebihan
air. Tanaman yang tumbuh di bagian bukit akan selamat dari genangan air yang
tinggi.
2.4
Kelebihan dan Kekurangan Sistem Surjan
2.5
Penerapan Multiple Cropping pada Sistem Surjan
BAB 3. PEMBAHASAN
Penataan lahan perlu dilakukan untuk
membuat lahan tersebut sesuai dengan kebutuhan tanaman yang akan dikembangkan.
Dalam melakukan penataan lahan perlu diperhatikan hubungan antara tipologi
lahan, tipe luapan, dan pola pemanfaatannya. Penataan lahan erat hubungannya
dengan sistem petanian yang akan digunakan. Hal itu dikarekan apabila sistem
pertaniannya sesuai dengan keadaan lingkungan, maka akan memberikan dampak yang
posistif, terutama pada tingkat produktivitas dan jumlah produksi.
Sistem pertanian yang telah
diterapkan masyarakat cukup banyak dan telah disesuaikan dengan keadaan
lingkungan masing-masing daerah. Salah satunya ialah sistem pertanian surjan. Sistem
surjan adalah salah satu contoh usaha penataan lahan untuk melakukan diversifikasi
tanaman di dataran rendah seperti lahan rawa. Berdasarkan
sistem pembuatan, surjan dapat dibagi menjadi dua cara pembuatan yaitu :
1.
Yang dibuat sekaligus
2.
Yang dibuat secara bertahap (tukungan).
Dalam pembuatan sitem pertanian
surjan diperlukan tenaga kerja yang banyak, sehingga juga memerlukan biaya yang
besar. Oleh karena itu, petani tradisional banyak memilih cara bertahap dengan
membuat tukungan atau gundukan. Dengan dimensi awal lebar bawah 2-3 m, tinggi
0,5-0,6 m dan setiap musim panen dilebarkan dan ditinggikan. Apabila tanaman
yang dibudidayakan cukup besar, maka tukungan ini dihubungkan atau tersambung
memanjang satu sama lain membentuk
surjan.
Pembuatan sistem pertanian surjan
juga disesuaikan dengan jenis tanah yang ada. Untuk tanah sulfat masam,
potensial pengolahan tanah dan pembuatan surjan sebaiknya dilakukan secara
hati-hati dan bertahap. Guludan dibuat secara bertahap dan tanahnya
diambil dari lapisan atas yang dimaksudkan untuk menghindari oksidasi pirit. Untuk
tanah gambut, tekstur lapisan tanah dibawahnya sangat menentukan dalam pola
pemanfaatan lahannya. Arah surjan disarankan memanjang timur-barat agar tanaman
(padi) pada bagian tabukan mendapat penyinaran matahari yang cukup. Untuk mempertahankan
bentuk dan produktivitasnya, surjan setiap musim atau setiap tahun dilibur atau
disiram lumpur yang diambil dari sekitarnya.
Penerapan sistem surjan umumnya
dilakukan di lahan rawa. Dalam upaya untuk meningkatkan daya guna lahan rawa,
dapat dikembangkan dengan tanaman padi dan non padi (multiple croping). Tanaman
padi yang dimaksid ialah padi sawah yang di tumpang sari dengan tanaman jagung.
Tanaman padi dapat ditanam di areal sawah, sedangkan tanaman jagung dapat
ditanam di lahan keringnya. Prinsip pengelolaan seperti ini disebut dengan pengelolaan
multiple cropping pada sistem pertanian surjan di lahan rawa.
Menurut Anwarhan (1986), tujuan dari
penerapan multiple cropping antara tanaman padi dan jagung dengan sistem surjan
di lahan rawa adalah sebagai berikut :
1.
Untuk diversifikasi tanaman
2.
Menjaga agar tanah tidak menjadi asam
3.
Mengurangi bahaya kekeringan
4.
Mengurangi keracunan akibat genangan
5.
Mengurangi resiko kegagalan dalam budidaya
6.
Meningkatkan pendapatan petani melalui penanaman
secara multiple cropping
A. Pengelolaan Lahan Rawa dengan Sistem Surjan
Sistem pertanian surjan merupakan
suatu cara pengelolaan tanah dan air yang disesuaikan dengan kondisi alam
setempat. Namun, yang perlu diperhatikan dalam sistem tersebut adalah penerapan
pola tanam tumpang sari (multi croping) yang berkelanjutan dan produktif dalam
waktu lama, sehingga mampu memenuhi kebutuhan generasi masa depan. Dengan
penerapan sistem surjan, maka lahan akan menjadi lebih produktif dengan
menghasilkan produk yang beragam. Hal tersebut dikarenakan pada lahan surjan
akan tersedia dua tatanan lahan, yaitu : (1) lahan tabukan yang tergenang untuk
menanam padi, (2) lahan guludan sebagai lahan kering untuk tanaman jagung.
Penerapan sistem surjan di daerah dataran rendah berupa rawa, dalam
pengelolaannya perlu dilakukan dengan cermat sesuai dengan prinsip pengelolaan
yang tepat. Hal tersebut dikarenakan tiap kondisi lahan yang memiliki berbagai
kendala agrofisik. Genangan air di lahan dataran rendah dapat dibedakan yang
dipengaruhi oleh air pasang dan yang hanya dipengaruhi oleh curah hujan.
Sehingga, karena pengaruhnya berbeda, maka akan sedikit berbeda pula dalam
penerapannya.
Surjan merupakan sistem berbentuk
lajur-lajur yang terdiri atas tanah tinggi sebagai bedengan atau guludan, yang
berselang-seling dengan tanah rendah sebagai tabukan atau parit saluran.
Penampang melintang berbentuk trapesium atau empat pesegi panjang yang tergantung
macam tanah yang membentuknya dan dinyatakan dalam kemiringan. Ada dua macam
cara untuk menentukan jarak antar parit surjan. Cara pertama, surjan dipandang
sebagai lahan dengan irigasi parit (furrow irrigation) dan cara kedua guludan
surjan sebagai lahan budi daya tanaman, dikelola secara intensif dengan
dukungan kecukupan air sepanjang hari.
Dalam penerapan sistem pertanian
surjan, surjan bagian bawah atau tabukan mempunyai ukuran lebih lebar dari
parit surjan sempit. Ukuran bagian bawah antara lain 5-15 m, 12-14 m atau 10-20
m dan lajur ini dialokasikan untuk ditanami padi sawah. Sedangkan bagian atas
dengan ukuran dari 3-6 m dan tinggi guludan yakni 0,6 m. Lajur ini ditanami tanaman
jagung atau tanaman lain, khususnya hortikultura guna menerapkan sistem
multiple croping di lahan rawa. Oleh karena itu, selain memanfaatkan lahan rawa
yang dinilai marjinal, tumpang sari dengan sistem surjan juga mampu memperbaiki
ketahanan pangan ke arah keberlanjutan.
B. Pengeloaan Irigasi dan Drainase pada Sistem Surjan
Prinsip pengelolaan sistem surjan
dilahan rawa terutama harus mampu mengelola sistem irigasi dan drainasenya. Hal
ini dikarenakan lahan rawa merupakan daerah dataran rendah yang memilki
kelebihan air dalam jumlah yang banyak , sehingga dibutuhkan saluran drainase
guna mengoptimalkan kebutuhan air tanaman. Di samping itu, persiapan pembuatan
irigasi dimaksudkan agar pemberian air ke petak lahan dapat dilaksanakan dengan
baik, terutama bagi guludan atau bagian atas. Sehingga, sistem irigasi dan
drainase sangat penting di lahan pertanian surjan, namun yang paling penting
ialah sistem drainasenya karena lahan rawa memiliki kelebihan air yang cukup
banyak.
Beberapa yang perlu diperhatikan
dalam persiapan pembuatan irigasi dengan sistem surjan dilahan rawa :
a.
Jaringan yang terdiri dari bangunan dan saluran
dipastikan berfungsi dengan baik dengan pemeliharaan dan perbaikan
seperlunya.
b.
Untuk musim penghujan khususnya, saluran pembuangan
atau drainase harus benar-benar berfungsi dengan baik, dengan pemeliharaan
dan perbaikan, serta kelebihan air hujan dapat dibuang.
c.
Kesiapan kegiatan operasi dan pemeliharaan yang
dilkelola oleh organisasi P3A, sesuai dengan kebutuhan dan pola tanam.
Rencana pemberian air di petak
surjan dan tahapan pemeliharaan yang sesuai dengan tingkatan teknis pembagian
dan pemberian air, dibedakan atas tiga macam, yakni :
a.
Jaringan sederhana atau belum teknis. Jenis ini belum
ada bangunan tersier, saluran pembawa dan pembuang belum terpisah. Setiap sawah
dapat mengambil air langsung dari saluran tersier. Air dapat dialirkan ke
petak, dan kelebihan air dapat dibuang.
b.
Jaringan semiteknis. Jenis ini telah memiliki bangunan
tersier, saluran pembawa dan pembuang sudah terpisah. Sekelompok sawah
mempunyai satu tempat pengambilan di saluran tersier, air dapat diatur namun
belum dapat diukur.
c.
Jaringan teknis. Jenis ini bangunan tersier sudah ada,
saluran pembawa dan pembuang sudah terpisah, dapat untuk rotasi baik antar sub
tersier atau antar petak kuarter, air dapat diatur dan diukur.
C. Pengaturan Pola Tanam pada Sistem Surjan
Dalam melakukan budidaya, perlu adanya
penyusunan pola pertanaman pada satu petak lahan dalam siklus satu tahun dan pelaksanaan
masa tanam musim penghujan atau kemarau. Hal ini ditetapkan dengan jadwal tanam
sesuai dengan program jaringan utama. Sistem surjan berkembang di daerah
irigasi di tempat- tempat tertentu sesuai dengan kondisi setempat yang
mendukung, misalnya penanaman jagung dengan irigasi sederhana, semiteknis
maupun teknis. Tanaman jagung ini dibudidayakan di musim kemarau dengan sistem
surjan sempit, sedangkan penanaman padi dilaksanakan di musim penghujan.
D. Penanaman dengan Multiple Cropping pada Sistem Surjan
Rencana diversifikasi tanaman pada
surjan lebar dilakukan dengan sistem multiple cropping dengan cara tumpang sari
di areal lahan. Pada areal tabukan yang tergenang digunakan untuk penanaman
tanaman padi. Hal ini dikarenakan tanaman padi memerlukan banyak air. Sedangkan
pada areal guludan yang kering ditanam tanaman jagung. Ini dikarenakan tanaman
jagung tidak memerlukan banyak air. Pada surjan sempit dengan program
tanam palawija atau sayuran di guludan dapat ditanam dengan intensitas tanam
sesuai dengan kebiasaan dan kondisi setempat. Pada guludan dapat pula ditanam
tanaman industri seperti kopi, jahe yang ditumpang sarikan dengan palawija atau
sayuran.
E. Pelaksanaan Sistem Surjan di Lahan Rawa/lebak
Lahan rawa semakin penting
peranannya dalam upaya mempertahankan swasembada beras dan mencapai swasembada
bahan pangan lainnya. Hal ini mengingat semakin berkurangnya lahan
subur untuk area pertanian di Pulau Jawa akibat alih fungsi lahan ke
perumahan dan keperluan non pertanian lainnya. Potensi lahan rawa di
Indonesia mencapai 14 juta hektar, terdiri dari rawa dangkal seluas 4.166.000
ha, rawa tengahan seluas 6.076.000 ha, dan rawa dalam seluas 3.039.000 ha
(Adhi, et al., dalam Rafieq, 2004). Sebagian lahan rawa ini belum dimanfaatkan
untuk usaha pertanian sehingga potensi pengembangannya masih sangat besar.
Rawa
adalah wilayah daratan yang mempunyai genangan hampir sepanjang tahun, minimal selama
tiga bulan
dengan tinggi
genangan
minimal
50 cm. Rawa
yang dimanfaatkan
atau dibudidayakan untuk pengembangan
pertanian, termasuk perikanan dan peternakan disebut lahan rawa lebak. Rawa
yang sepanjang tahun tergenang atau dibiarkan alamiah disebut rawa monoton, sedangkan
jika kedudukannya menjorok masuk jauh dari muara laut/sungai besar disebut rawa pedalaman.
Atau dapat juga diartikan dengan sawah rendahan yang tergenang secara
periodik sekurang-kurangnya tiga
sampai enam bulan secara kumulatif dalam setahun, dan dapat kering atau lembab
tiga bulan secara komulatif dalam setahun.
Rawa
secara khusus
diartikan sebagai kawasan rawa
dengan bentuk wilayah berupa cekungan
dan merupakan wilayah yang dibatasi oleh satu atau dua tanggul sungai (levee)
atau antara dataran tinggi dengan tanggul sungai. Bentang lahan rawa menyerupai
mangkok yang bagian tengahnya paling dalam dengan genangan paling tinggi.
Semakin ke arah tepi sungai atau tanggul
semakin rendah genangannya. Pada musim hujan genangan air dapat mencapai
tinggiantara 4-7 meter, tetapi pada musim kemarau lahan dalam keadaan kering,
kecuali dasar atau wilayah paling bawah. Pada musim kemarau muka air tanah di
lahan rawa lebak dangkal dapatmencapai > 1 meter sehingga lebih menyerupai
lahan kering (upland).
Lahan
rawa dipengaruhi oleh iklim tropika basah dengan curah hujan antara
2.000-3.000mm per tahun dengan 6-7 bulan basah (bulan basah = bulan yang
mempunyai curah hujan bulanan> 200 mm) atau antara 3-4 bulan kering (bulan
kering = bulan yang mempunyai curah hujan bulanan.
Potensi
pertanian di lahan
rawa cukup luas dan beragam.
Watak dan ekologi
masing-masing
lokasi dan tipologi lahan rawa merupakan faktor penentu dalam penyusunan pola
tanamdan jenis komoditas yang dibudidayakan. Pola tanam dan jenis komoditas
yang dikembangkan dilahan rawa dapat didasarkan pada tipologi lahan.
Lahan
rawa sebagian besar dimanfaatkan untuk pengembangan budidaya padi yang dapat dipilah
dalam pola (1) padi sawah timur (sawah rintak) dan (2) padi sawah barat (sawah
surung). Sawah timur pada musim hujan tergenang sehingga hanya ditanami
pada musim kemarau. Sawah timur ini
umumnya ditanami padi rintak, yaitu padi sawah irigasi yang berumur pendek
(high yielding variety) seperti varietas IR
42, IR 64, IR 66, cisokan, ciherang, cisanggarung, mekongga, kapuas,
lematang, margasari (tiga varietas terakhir merupakan padi spesifik rawa pasang
surut) dengan hasil rata-rata 4-5 ton per hektar.
Lahan rawa mempunyai peran penting
dalam upaya mempertahankan swasembada beras dan mencapai swasembada pangan
lainnya mengingat semakin berkurangnya lahan subur untuk area pertanian.
Kata lebak diambil dari bahasa jawa yang berarti lembah atau tanah rendah. Rawa
lebak secara khusus diartikan sebagai kawasan rawa dengan bentuk wilayah berupa
cekungan dan merupakan wilayah yang dibatasi oleh satu atau dua tanggul sungai
atau antara dataran tinggi dengan tanggul sungai.
Pada musim hujan genangan air dapat
mencapai tinggi antara 4-7 meter, tetapi pada musim kemarau lahan dalam keadaan
kering, kecuali dasar atau wilayah paling bawah. Pada musim kemarau, muka air
tanah di lahan rawa lebak dangkal dapat mencapai kurang dari satu
meter sehingga menyerupai lahan kering. Lahan rawa lebak dipengaruhi oleh
iklim tropika basah dengan curah hujan antara 2.000-3.000 mm per tahun denga
6-7 bulan basah (bulan basah adalah bulanyang mempunyai curah hujan bulanan
lebih dari 200 mm) atau antara 3-4 bulan kering (bulan kering adalah bulan yang
mempunyai curah hujan bulanan kurang dari 200 mm).
F. Sistem Pertanaman Multiple Cropping Padi Sawah dan
Jagung dengan Sistem Surjan di Lahan Rawa
Multiple cropping atau tumpang sari
adalah penanaman beberapa jenis tanaman dalam satu areal lahan secara bersama
ataupun berurutan. Umumnya penanaman tumpang sari dilaksanakan di lahan-lahan
subur karena dinilai lebih menguntungkan. Akan tetapi, karena luasan
lahan-lahan subur semakin sedikit akibat alih fungsi lahan, sehingga diperlukan
suatu inovasi tumpang sari tanaman di lahan-lahan marjinal, misalnya lahan
rawa. Penerapannya dengan sistem pertanian surjan.
Dalam sistem pertanian surjan di
lahan rawa, yang terpenting dilakukan ialah pengaturan drainase dan irigasinya.
Hal itu dikarenakan lahan rawa memiliki kelebihan air yang cukup banyak,
sehingga pembuangan air harus dilakukan secara kontinyu agar jumlah air sesuai
dengan kebutuhan tanaman. Jumlah air yang paling banyak ialah di daerah bagian
bawah atau tabukan yang merupakan tempat penanaman padi sawah. Walaupun padi
sawah membutuhkan air yang cukup banyak, namun bila berlebih akan berakibat
buruk pada tanaman. Sedangkan di bagian atas atau guludan merupakan tempat
penanaman jagung dan bagian tersebut tidak digenangi air. Sehingga, irigasi
diutamakan pada bagian atas atau guludan agar tanaman tidak kekurangan air.
Penerapan sistem surjan di lahan
rawa merupakan suatu pemanfaatan lahan marjinal, sehingga lahan tersebut mampu
memberikan produk yang beragam karena ditanami beberapa jenis tanaman. Dampak
penerapan sistem tumpang sari di lahan surjan ialah mampu mengangkat nilai
ekonomi masyarakat dan mampu mengatasi masalah pangan serta memperbaiki
ketahanan pangan nasional.
BAB 4. PENUTUP
Lahan rawa mempunyai potensi yang
besar dan berpeluang besar bagi pengembangan usaha pertanian sekaligus
untuk peningkatan pendapatan petani. Potensi dan peluang tersebut dapat di
aktualisasikan dengan cara melakukan kegiatan penataan lahan dan komoditas,
berdasar karakteristiknya yaitu dengan menerapkan sistem pertanaman multiple
cropping dengan menggunakan sistem surjan. Penataan lahan sistem surjan dengan
multiple cropping ini telah berkembang cukup pesat di lahan rawa seperti di
Kalimanatan Selatan. Hal ini dikarenakan selain dapat mendukung usaha pertanian
diversifikasi juga dapat meningkatkan pendapatan petani. Di sejumlah daerah lainnya
yang mempunyai lahan rawa, pada umumnya belum mempunyai informasi detail
tentang teknologi penataan lahan sistem surjan, sehingga usaha pertaniannya masih
bersifat monokultur dengan pendapatan yang masih relatif rendah.
Penataan lahan perlu dilakukan untuk
membuat lahan tersebut sesuai dengan kebutuhan tanaman yang akan dikembangkan.
Dalam melakukan penataan lahan perlu diperhatikan hubungan antara tipologi
lahan, tipe luapan, dan pola pemanfaatannya. Sistem surjan adalah salah satu
contoh usaha penataan lahan untuk melakukan diversifikasi tanaman di lahan
rawa. Berdasarkan sistem pembuatan, surjan dapat dibagi menjadi dua
cara pembuatan yaitu (1) yang dibuat sekaligus, dan (2) yang dibuat secara
bertahap (tukungan).
Sistem surjan merupakan suatu cara
pengelolaan tanah dan air yang disesuaikan dengan kondisi alam setempat. Namun
yang perlu diperhatikan dalam menggunakan system ini adalah penerapan pola tanam
tumpang sari ( multi croping ) yang berkelanjutan dan produktif dalam waktu
lama. Dengan penerapan system surjan, maka lahan akan menjadi lebih
produktif karena pada lahan tersebut akan tersedia dua tatanan lahan, yaitu :
(1) lahan tabukan yang tergenang (digunakan untuk menanam padi adatu
digabungkan dengan budidaya ikan) (2) lahan guludukan sebagai lahan
kering(digunakan untuk budidaya palawija, buah-buahan, tanaman
tahunan/perkebunan).
DAFTAR
PUSTAKA
Ali, Rachman. 1984. Sistem Surjan di Kabupaten Daerah Tingkat II Demak,
Jawa Tengah
Anwarhan dan S. Sulaiman. 1985. Pengembangan Pola Usahatani di Daerah Lahan
Pasang Surut dalam rangka peningkatan Produksi Tanaman Pangan. Jurnal
Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 4(4).
Ar-Riza, I. 2002. Peningkatan Produksi Padi Lebak. Makalah Seminar
Nasional. Perhimpunan Agronomi Indonesia, PERAGI, tanggal 29-30 Oktober 2002 di
Bogor.
Balittra. 2004. Balai Penelitian Pertanian Lahan rawa. Laporan tahunan
2005
Dinas Pertanian dan Hortikultura Kabupaten Tanjung Jabung Timur. 2007. Laporan
Tahunan tahun 2006
Nazemi, S. Saragih dan Y. Rina. 2003. Laporan akhir proyek penelitian sumber
daya lahan rawa. Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa. Banjar baru.
Purwanto, S. 2006. Kebijakan Pengembangan Lahan Rawa Lebak. Dalam prosiding
seminar nasional Pengelolaan Lahan Terpadu. Balai Besar Penelitian dan
Pengembangan Sumberdaya lahan pertanian. Banjarbaru
Rina, Y, Noorginayuwati dan S.Antar lina. 2006. Analisis Finansial
Usahatani Jeruk pada Sistem Surjan di Lahan Pasang Surut. Jakarta :
Gramedia Pustaka
Swamps-II. 1991. Farming Systems in Indonesia’s tidal swamps.
Res.Highlights 1987- 1990. AARD-Swamps-II project. Jakarta: Oxword
Widjaya, Adhi, dkk. 1992. Sumberdaya Lahan Pasang Surut, Rawa dan
Pantai: Potensi, Keterbatasan dan Pemanfaatan. Dalam prosiding “Pertemuan
Nasional Pengembangan Lahan Pertanian Pasang Surut dan Rawa . Cisarua, 3- 4
Maret 1992.