REKLAMASI dan REVEGATASI TANAMAN PADA LAHAN BEKAS
TAMBANG DI SULAWESI SELATAN
Tugas ini
disusun untuk memenuhi Mata Kuliah Penerapan Sistem Pertanian Berkelanjutan
OLEH
1. Ganda
Arief S. (111510501100)
2.
Dewi Puspa A. (111510501110)
3.
Ajeng Widyaningrum (111510501111)
4.
Sheilla Anandyta R. (111510501112)
PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI/ BEASISWA
UNGGULAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS JEMBER
2012
BAB
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kebutuhan
pangan terus meningkat sementara ketersediaan lahan semakin menurun dengan
adanya alih fungsi lahan pertanian untuk kegiatankegiatan di luar pertanian.
Guna mengatasi permasalahan tersebut maka minimal ada dua hal yang harus
dilakukan: pertama adalah mengendalikan alih fungsi lahan pertanian, dan ke dua
adalah meningkatkan kualitas lahan kritis agar dapat kembali berfungsi sebagai
lahan pertanian. Alternatif ke dua harus digalakkan untuk mengantisipasi
kegagalan dalam mengendalikan alih fungsi lahan pertanian untuk kegiatan di
luar pertanian.
Salah
satu lahan kritis yang berpotensi untuk dialihfungsikan menjadi lahan pertanian
adalah lahan bekas tambang batubara. Lahan bekas tambang seperti batubara,
pasir, emas dll yang biasanya memiliki tingkat kepadatan yang tinggi dan kurang
subur dikarenakan adanya bahan-bahan timbunan yang berasal dari lapisan bawah
tanah, baik horizon C maupun bahan induk tanah. Lalu lintas alat-alat berat
selama proses penambangan dan penimbunan juga berperan penting dalam
menghasilkan lapisan tanah permukaan yang padat dan terjadinya penutupan
pori-pori tanah (surface sealing and crusting) (Hermawan, 2002). Dalam
kondisi yang demikian, sebagian besar tanaman pangan tidak mampu tumbuh baik
karena terbatasnya penetrasi akar ke dalam tanah untuk mendapatkan air dan
nutrisi. Air infiltrasi seperti curah hujan dan irigasi menjadi sulit menembus
permukaan tanah dengan adanya penutupan pori tersebut. Perkecambahan benih
tanaman juga menjadi terhambat pada tanahtanah di lahan bekas tambang akibat
pembentukan kerak (crust formation) dan peningkatan kekuatan tanah
ketika tanah menjadi kering (Whitemore et al., 2011).
Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 76 Tahun 2008 tentang Rehabilitasi dan
Reklamasi Hutan mengharuskan setiap perusahaan tambang untuk melakukan
revegetasi pada lahan-lahan kritis bekas tambang. Tindakan revegetasi tersebut
dilakukan dengan menanam vegetasi reklamasi pada lokasi-lokasi yang sudah
selesai ditambang meskipun aktivitas pertambangan secara keseluruhan masih
berjalan. Tujuan dari reklamasi tersebut adalah untuk meningkatkan
produktivitas lahan bekas tambang antara lain dengan dialihfungsikan untuk
produksi tanaman pertanian. Apabila izin usaha penambangan diberikan kepada
perusahaan Badan Usaha Milik Negara, maka perusahaan diwajibkan untuk
mencadangkan sebagian lahan bekas tambang yang telah direklamasi tersebut untuk
mendukung ketahanan pangan.
Taylor et al. (2010) merangkum variabel
kualitas tanah yangperubahannya berpengaruh secara signifikan terhadap
pertumbuhan tanaman. Variabel tersebut antara lain adalah pH, nitrogen total,
fosfor tersedia, serta kalium, kalsium, besi dan aluminium dapat ditukar. Dengan
demikian, variabel tersebut harus dipertimbangkan dalam mengevaluasi
peningkatan kualitas tanah bekas tambang dalam rangka pencadangan lahan untuk
pertanian tanaman pangan. Selain itu, tekstur dan karbon organik tanah
merupakan variabel lain yang harus dievaluasi karena keduanya sangat menentukan
kebutuhan dan efisiensi penambahan unsur hara melalui pemupukan (Hermawan et
al., 2000). Proses alihfungsi lahan bekas tambang menjadi lahan pertanian
tanaman pangan membutuhkan tiga tahapan reklamasi. Ketiga tahapan reklamasi
tersebut adalah sebagai berikut: (i) pemulihan fungsi lahan yang telah kritis
dan rusak, antara lain melalui penanaman vegetasi reklamasi, (ii) peningkatan
fungsi lahan kritis dan lahan rusak yang sudah dipulihkan agar menjadi lahan
yang produktif, termasuk untuk produksi tanaman pangan, dan (iii) pemeliharaan
fungsi lahan yang fungsinya telah dipulihkan dan ditingkatkan tersebut agar
tidak kembali menjadi lahan kritis dan lahanrusak. Berdasarkan uraian di atas,
maka penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi peningkatan beberapa variabel
kualitas tanah pada lahan bekas tambang batubara pasca reklamasi agar sesuai
untuk alih fungsi menjadi lahan pertanian tanaman pangan.
1.2 Tujuan
Tujuan dari makalah ini
adalah agar kita dapat mengetahui bagaimana cara mengelola lahan bekas galian
dan cara untuk membudidayakan tanaman di lahan ini.
BAB
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Pertambangan
Kegiatan pertambangan adalah bagian
dari kegiatan pembangunan ekonomi yang mendayagunakan sumber daya alam dan
diharapkan dapat menjamin kehidupan di masa yang akan datang. Sumber daya alam
yang tidak terbarukan harus dikelola agar fungsinya dapat berkelanjutan.
Pelaksanaan pertambangan diharapkan dapat memberikan jaminan pengembangan dalam
praktek rehabilitasi serta mengaplikasikan praktek berkelanjutan. Persoalan
yang akan timbul akibat dari kegiatan pertambangan yang kurang tepat dapat
menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan berupa penurunan produksivitas
tanah, pemadatan tanah, terjadinya erosi dan sedimentasi, terjadinya gerakan
tanah/longsoran, penurunan biodiversitas flora dan fauna serta perubahan iklim
mikro (Darwo, 2003).
A. Kegiatan Pertambangan dan Aspek
Lingkungan
Kegiatan pertambangan merupakan
kegiatan usaha yang kompleks dan sangat rumit, sarat risisko, merupakan
kegiatan usaha jangka panjang, melibatkan teknologi tinggi, padat modal, dan
aturan regulasi yang dikeluarkan dari beberapa sektor. Selain itu, kegiatan
pertambangan mempunyai daya ubah lingkungan yang besar, sehingga memerlukan
perencanaan total yang matang sejak tahap awal sampai pasca tambang. Pada saat
membuka tambang, sudah harus difahami bagaimana menutup tambang.
Rehabilitasi/reklamasi tambang bersifat progresif, sesuai rencana tata guna
lahan pasca tambang.
Tahapan kegiatan
perencanaan tambang meliputi penaksiran sumberdaya dan cadangan, perancangan
batas penambangan (final/ultimate pit limit), pentahapan tambang,
penjadwalan produksi tambang, perancangan tempat penimbunan (waste dump
design), perhitungan kebutuhan alat dan tenaga kerja, perhitungan biaya
modal dan biaya operasi, evaluasi finansial, analisis dampak lingkungan,
tanggung jawab sosial perusahaan (Corporate Social Responsibility)
termasuk pengembangan masyarakat (Community Development) serta Penutupan
tambang. Perencanaan tambang, sejak awal sudah melakukan upaya yang
sistematis untuk mengantisipasi perlindungan lingkungan dan pengembangan
pegawai dan masyarakat sekitar tambang (Arif, 2007).Kegiatan pertambangan pada
umumnya memiliki tahap-tahap kegiatan sebagai berikut :
1.
Eksplorasi
2.
Ekstraksi dan pembuangan limbah batuan
3.
Pengolahan bijih dan operasional pabrik
pengolahan
4.
Penampungan tailing, pengolahan dan
pembuangannya
5.
Pembangunan infrastuktur, jalan akses dan
sumber energi
6.
Pembangunan kamp kerja dan kawasan
pemukiman.
Pengaruh pertambangan
pada aspek lingkungan terutama berasal dari tahapan ekstraksi dan pembuangan
limbah batuan, dan pengolahan bijih serta operasional pabrik pengolahan.
Diperkirakan lebih dari 2/3 kegiatan eksrtaksi bahan mineral di dunia
dilakukan dengan pertambangan terbuka. Teknik tambang terbuka biasanya
dilakukan dengan open-pit mining, strip mining, dan quarrying,
tergantung pada bentuk geometris tambang dan bahan yang digali.
Ekstraksi bahan mineral dengan
tambang terbuka sering menyebabkan terpotongnya puncak gunung dan menimbulkan
lubang yang besar. Salah satu teknik tambang terbuka adalah metode strip
mining (tambang bidang). Dengan menggunakan alat pengeruk, penggalian
dilakukan pada suatu bidang galian yang sempit untuk mengambil mineral. Setelah
mineral diambil, dibuat bidang galian baru di dekat lokasi galian yang lama.
Batuan limbah yang dihasilkan digunakan untuk menutup lubang yang dihasilkan
oleh galian sebelumnya. Teknik tambang seperti ini biasanya digunakan untuk
menggali deposit batubara yang tipis dan datar yang terletak didekat permukaan
tanah.
Teknik penambangan quarrying bertujuan
untuk mengambil batuan ornamen, dan bahan bangunan seperti pasir, kerikil, bahan
industri semen, serta batuan urugan jalan. Untuk pengambilan batuan ornamen
diperlukan teknik khusus agar blok-blok batuan ornamen yang diambil mempunyai
ukuran, bentuk dan kualitas tertentu. Sedangkan untuk pengambilan bahan
bangunan tidak memerlukan teknik yang khusus. Teknik yang digunakan serupa
dengan teknik tambang terbuka.
Tambang bawah tanah digunakan jika zona mineralisasi terletak jauh di bawah
permukaan tanah sehingga jika digunakan cara tambang terbuka jumlah batuan
penutup yang harus dipindahkan terlalu besar. Produktifitas tambang bawah tanah
5 sampai 50 kali lebih rendah dibanding tambang terbuka, karena ukuran alat
yang digunakan lebih kecil dan akses ke dalam lubang tambang lebih terbatas.
Kegiatan ekstraksi menghasilkan limbah/waste dalam jumlah yang
sangat banyak. Total waste yang diproduksi dapat bervariasi antara 10 %
sampai sekitar 99,99 % dari total bahan yang ditambang. Limbah utama yang
dihasilkan adalah batuan penutup dan limbah batuan. Batuan penutup (overburden)
dan limbah batuan adalah lapisan batuan yang tidak/miskin mengandung
mineral ekonomi, yang menutupi atau berada di antara zona mineralisasi atau
batuan yang mengandung mineral dengan kadar rendah sehingga tidak ekonomis
untuk diolah. Penutup umumnya terdiri dari tanah permukaan dan vegetasi
sedangkan batuan limbah meliputi batuan yang dipindahkan pada saat pembuatan
terowongan, pembukaan dan eksploitasi singkapan bijih serta batuan yang berada
bersamaan dengan singkapan bijih.
Hal-hal pokok yang perlu mendapatkan perhatian pada kegiatan ekstraksi dan
pembuangan limbah/waste agar sejalan dengan upaya reklamasi adalah :
1.
Luas dan kedalaman zona mineralisasi
2.
Jumlah batuan yang akan ditambang dan yang akan
dibuang yang akan menentukan lokasi dan desain penempatan limbah batuan.
3. Kemungkinan
sifat racun limbah batuan
4.
Potensi terjadinya air asam tambang
Dampak terhadap kesehatan dan keselamatan yang berkaitan dengan kegiatan
transportasi, penyimpanan dan penggunaan bahan peledak dan bahan kimia racun,
bahan radio aktif di kawasan penambangan dan gangguan pernapasan akibat
pengaruh debu.
1.
Sifat-sifat geoteknik batuan dan kemungkinan untuk
penggunaannya untuk konstruksi sipil (seperti untuk landscaping, dam tailing,
atau lapisan lempung untuk pelapis tempat pembuangan tailing).
2.
Pengelolaan (penampungan, pengendalian dan pembuangan)
lumpur (untuk pembuangan overburden yang berasal dari sistem penambangan
dredging dan semprot).
3.
Kerusakan bentang lahan dan keruntuhan akibat
penambangan bawah tanah.
4. Terlepasnya
gas methan dari tambang batubara bawah tanah.
Kegiatan pertambangan dapat berdampak pada
perubahan/rusaknya ekosistem. Ekosistem yang rusak diartikan sebagai suatu
ekosistem yang tidak dapat lagi menjalankan fungsinya secara optimal, seperti
perlindungan tanah, tata air, pengatur cuaca, dan fungsi-fungsi lainnya dalam
mengatur perlindungan alam lingkungan. Menurut Jordan (1985 dalam Rahmawaty, 2002), intensitas gangguan ekosistem dikategorikan
menjadi tiga, yaitu:
1.
Ringan, apabila struktur dasar
suatu ekosistem tidak terganggu, sebagai contoh jika sebatang pohon besar mati
atau kemudian roboh yang menyebabkan pohon lain rusak, atau penebangan kayu
yang dilakukan secara selektif dan hati-hati,
2.
Menengah, apabila struktur hutannya rusak
berat/hancur, namun produktifitasnya tanahnya tidak menurun, misalnya
penebangan hutan primer untuk ditanami jenis tanaman lain seperti kopi, coklat,
palawija dan lain-lainnya.
3.
Berat, apabila struktur hutan rusak
berat/hancur dan produkfitas tanahnya menurun, contohnya terjadi aliran lava
dari gunung berapi, penggunaan peralatan berat untuk membersihkan hutan,
termasuk dalam hal ini akibat kegiatan pertambangan
Menurut Kusnotodan
Kusumodirdjo (1995), dampak lingkungan akibat kegiatan pertambangan antara
lain berupa :
1.
Penurunan produktivitas tanah
2.
Pemadatan tanah
3.
Terjadinya erosi dan sedimentasi
4.
Terjadinya gerakan tanah dan longsoran
5.
Terganggunya flora dan fauna
6.
Terganggunya keamanan dan kesehatan penduduk
7.
Perubahan iklim mikro
Sebelum melakukan revegetasi perlu
dilakukan reklamasi terlebih dahulu. Reklamasi dan revegetasi harus berjalan
selaras dan sesuai agar adanya proses rehabilitasi tersebut menghasilkan suatu
kesuburan tanah dengan tujuan menyeimbangkan agroekosistem.
2.2
Reklamasi
Reklamasi bekas tambang yang
selanjutnya disebut reklamasi adalah usaha memperbaiki atau memulihkan kembali
lahan dan vegetasi dalam kawasan hutan yang rusak sebagai akibat kegiatan usaha
pertambangan dan energi agar dapat berfungsi secara optimal sesuai dengan
peruntukannya. (Permenhut Nomor: 146-Kpts-II-1999). Rehabilitasi hutan dan
lahan adalah kegiatan yang dimaksudkan untuk memulihkan, mempertahankan dan
meningkatkan fungsi hutan dan lahan sehingga daya dukung, produktifitas, dan
peranannya dalam mendukung sistem
penyangga kehidupan tetap terjaga.
Parotta (1993) dalam Setiawan (2003) menyatakan bahwa tujuan
rehabilitasi ekosistem hutan yang m engalami degradasi ialah menyediakan,
mempercepat berlangsungnya proses suksesi alami. Selain itu juga untuk menambah
produktivitas biologis, mengur angi laju erosi tanah, menambah kesuburan tanah
dan menambah kontrol biotik terhadap aliran biogeokimia dalam ekosistem yang
ditutupi tanaman. Kata reklamasi berasal dari kata to reclaim
yang bermakna to bring back to proper state , sedangkan arti umum
reklamasi adalah the making of land fit
for cultivation. Membuat keadaan lahan
menjadi lebih baik untuk dibudidayakan,
atau membuat sesuatu yang sudah bagus menjadi lebih bagus, sama sekali
tidak mengandung implikasi pemulihan ke kondisi asal tapi yang lebih diutamakan
adalah fungsi dan asas kemanfaatan lahan. Arti demikian juga dapat
diterjemahkan sebagai kegiatan-kegiatan yang bertujuan mengubah peruntukan
sebuah lahan atau mengubah kondisi sebuah lahan agar sesuai dengan keinginan
manusia (Young dan Chan, 1997 dalam Nusantara et al. 2004 ).
Kegiatan reklamasi meliputi dua
tahapan, yaitu:
1. Pemulihan
lahan bekas tambang untuk memperbaiki lahan yang sudah terganggu ekologinya.
2. Mempersiapkan
lahan bekas tambang yang sudah diperbaiki ekologinya
untuk pemanfaatan selanjutnya.
Sasaran akhir dari reklamasi adalah terciptanya lahan
bekas tambang yang kondisinya aman,
stabil dan tidak mudah tererosi sehingga dapat dimanfaatkan kembali sesuai
dengan peruntukkannya.
2.3 Revegetasi
Revegetasi adalah usaha atau
kegiatan penanaman kembali lahan bekas tambang (Ditjen RLPS). Setiadi (2006)
menyatakan bahwa model revegetasi dalam
rehabilitasi lahan yang terdegradasi terdiri dari beberapa model antara
lain restorasi (memiliki aksentuasi pada
fungsi proteksi dan konservasi serta
bertujuan untuk kembali ke kondisi awal), reforestasi dan agroforestri.
Lebih lanjut lagi dinyatakan bahwa aktivitas dalam kegiatan revegetasi meliputi
beberapa hal yaitu (i) seleksi dari tanaman lokal yang potensial, (ii) produksi
bibit, (iii) penyiapan lahan, (iv) amandemen t anah, (v) teknik penanaman, (vi)
pemeliharaan, dan (vii) program monitoring, Revegetasi yang sukses tergantung
pada pemilihan vegetasi yang adaptif, tumbuh sesuai dengan karakteristik tanah,
iklim dan kegiatan pasca penambangan. Vegetasi yang cocok untuk tanah berbatu
termasuk klasifikasi herba, pohon dan rumput yang cepat tumbuh, sehingga dapat
mengendalikan erosi tanah. Tumbuhan yang bersimbiosis dengan mikroorganisme
tanah yang mampu memfiksasi nitrogen adalah salah satu vegetasi revegetasi
lahan pasca tambang, seperti tanaman yang term asuk dalam famili Leguminoceaea
(Vogel, 1987 dalam Setiawan, 2003).
Pada lahan bekas tambang, revegetasi
merupakan sebuah usaha yang kompleks yang meliputi banyak aspek, tetapi juga
memiliki banyak keuntungan. Beberapa keuntungan yang didapat dari revegetasi
antara lain, menjaga lahan terkena erosi dan aliran permukaan yang deras;
membangun habitat bagi satwaliar; membangun keanekaragaman jenis-jenis lokal; memperbaiki
produktivitas dan kestabilan tanah; memperbaiki kondisi lingkungan secara
biologis dan estetika; dan menyediakan tempat perlindungan bagi jenis-jenis
lokal dan plasma nutfah (Setiadi, 2006).
2.4 Evaluasi
Keberhasilan Revegetasi
Lahan disebut berhasil direstorasi
dan bersifat swalanjut manakala dapat memenuhi kriteria-kriteria berikut (i) persen daya hidup bibit yang ditanam
adalah tinggi, (ii) pertumbuhan vegetasinya normal dan swalanjut, (iii)
perkembangan akar dapat menembus tanah asli (yang berkepadatan tinggi) dan
menjangkau bagian lain, (v) penutupan tajuknya cepat, terstratifikasi dan
melebar, (v) lahan menghasilkan serasah yang melimpah dan terdekomposisi dengan
cepat yang ditunjukkan dengan nisbah C:N yang cepat turun dan konstan, (vi)
terjadi rekolonisasi spesies-spesies spesifik lokasi, dan (vii) tercipta
habitat bagi beraneka jenis satwa liar. Setidak-tidaknya ada lima hal penting
yang harus diingat sehubungan dengan restorasi yaitu (i) rekolonisasi, (ii)
retensi hara dan air, (iii) salingtindak
biotik, (iv) produktivitas, dan
(v) keswalanjutan (Setiadi, 2004 dalam Nusantara et al. 2004).
Setiadi (2006) menyebutkan beberapa
faktor sebagai bahan evaluasi revegetasi antara lain, performa pertumbuhan dan
kesesuaian jenis; kesinambungan dan tingkat pemenuhan kebutuhan diri oleh
tanaman; peningkatan lingkungan mikro-habitat; pengurangan dampak terhadap
lingkungan serta keuntungan bagi mayarakat sekitar. Sedangkan beberapa kriteria
mengenai lahan revegetasi yang swalanjut antara lain: daya hidup anakan yang
tinggi; pertumbuhan tanaman yang normal dan berkesinambungan; perkembngan akar
yang telah mampu menembus lubang tanam; penutupan tajuk yang cepat, beragam dan
berstratifikasi; produksi serasah yang banyak dan mudah terdekomposisi; dapat
menghasilkan kolonisasi spesies lokal dan dapat menciptakan suasana yang cocok
bagikehidupan satwa liar.
2.5 Suksesi
dan Klimaks
Suksesi adalah perubahan-perubahan
langsung yang berkaitan dengan waktu dalam komposisi komunitas dan sifat-sifat
ekosistem lainnya. Suksesi disebabkan dinamikan individu-individu di dalam
ekosistem karena mereka berinteraksi satu sama lain dan dengan lingkungan
fisik. Perubahan langsung dalam komposisi spesies timbul ketika
individu-individu dari beberapa spesies digantikan oleh individu-individu dari
spesies lain pada waktu individu pertama mati (McNaughton & Wolf 1990).
Manan (1998) menyatakan bahwa suatu rangkaian perubahan masyarakat tumbuhan
(jenis dan struktur) bersamaan dengan perubahan habitat tempat tumbuhnya.
Perubahan ini tidaklah sembarangan, tetapi dapat diramalkan pola dan arahnya.
Mekanisme perubahan dalam suksesi dapat
dibedakan menjadi tiga tahap utama, yaitu (1) kolonisasi, (2) perubahan fisik
lahan, dan (3) pergeseran spesies oleh kompetisi dan antibiosis. Sedangkan
Clements dalam Mueller-Dombois and Ellenberg (1974) membedakan enam sub
komponen dalam suksesi (a) nudasi, yaitu terbukanya areal baru; (b) migrasi,
yaitu sampai dan tersebarnya biji di areal; (c) ecesis , yaitu proses
perkecambahan, pertumbuhan dan perkembangbiakan tumbuhan baru; (d) kompetisi,
yaitu proses yang mengakibatkan pergantian jenis-jenis tumbuhan; (e) reaksi, yaitu
adanya proses perubahan habitat karena aktivitas jenis-jenis baru; dan (f)
klimaks yang merupakan tingkat kestabilan komunitas. Pendapat lain menyatakan bahwa suksesi dimulai dari pioneer stage; menuju consolidation sta ge; lalu pada tingkatan sub klimaks dan berakhir pada
klimaks. (Dansereau, 1957 dalam Barnes dan Spurr, 1980). Freeman et al (1977) menyatakan bahwa
kemampuan suatu ekosistem untuk mentoleransi penggunaan oleh manusia dan untuk
pulih kembali setalah pemakaian sewenang-wenang, sangat bervariasi bergantung pada
faktor-faktor iklim dan biologi. Dan meskipun vegetasi masuk dengan cepat
menempati kembali daerah yang terbuka, dan suksesi biasanya berjalan cepat,
namun pemulihan hutan primer setelah gangguan hebat biasanya berjalan lambat. Hal
ini sebagian karena kerumitan hutan hujan klimkas dan jaringan hubungan
tumbuhan dan hewan yang rumit memperhambat pemulihan setelah mengalami
gangguan.
2.6 Tanah Bekas Lahan Tambang
Peningkatan kualitas fisik tanah
pada lahan bekas tambang yang telah direvegetasi
selama 8 dan 12 tahun. Tekstur tanah bekas tambang termasuk kelas lempung
berpasir (sandy loam ) dengan kandungan pasir 55-59%, debu 24-27% dan liat
17-19%. Di stribusi ukuran partikel
tanah yang demikian suda h memenuhi persyaratan untuk lahan pertanian tanaman
pangan yang mensyaratkan kisaran tekstur antara liat sampai lempung berpasir
(Djaenuddin et al ., 1994).
Dalam hubungannya dengan pertanian
tanaman pangan, tekstur tanah berpengaruh terhadap kemudahan dalam pengolahan
tanah, ketersediaan air bagi tanaman, dan penentuan kebutuhan nitrogen bagi
tana man. Tanah yang bertekstur pasir,
misalnya, mudah diolah namun kur ang mampu menyediakan air bagi tanaman,
kondisi sebaliknya terjadi pada tanah
bertekstur liat (Hermawan,
2002). Dalam
hubungannya dengan kebut uhan nitrogen, tanah dengan kandungan pasir kurang
dari 65% membutuhkan nitrogen antara 100 sampai 200 kg/ha (Hermawan et al.,
2000), sedangkan apabila kandungan pasir diatas 70% maka nitrogen yang
di butuhkan lebih dari 200 kg/ha (Wu et
al., 2010).
Berat volume, porositas total dan
resistensi penetrasi merupakan tiga variabel yang berhubungan dengan kepada tan
tanah. Hasil penelitian pada Tabel 1
menunjukkan bahwa tingkat kepadatan tanah pada lahan bekas tambang batubara
yang telah direklam asi selama 12 tahun relatif sesuai untuk pertumbuhan
tanaman pangan. Tingkat kepadatan tanah
bekas tambang tersebut lebih rendah dibandi ngkan ketika vegetasi reklamasi
baru berumur 8 tahun. Hal ini
menunjukkan bahwa pertumbuhan vegetasi reklamasi berdampak positif dalam
menurunkan kepadatan tanah sehingga sesuai untuk pertumbuhan tanaman pangan.
Meskipun demikian, tindakan pengolahan tanah tetap harus dilakukan ketika
lahan bekas tambangdialihfungsikan menjadi lahan pertania n tanaman pangan
karena setiap jenis tanaman memiliki respon yang berbeda terhadap kepadatan
(Batey, 2009).
Air tanah yang tersedia bagi
sebagian besar tanaman adalah air yang tersisa di dalam ruang pori setelah dihi
sap atau ditekan keluar dari dalam tanah dengan gaya sebesar 0,1 sampai 15 bar.
Kadar air tanah yang diteliti ketika pengukuran di lapangan adalah 36
sampai 38%, dan setelah mengalami proses evaporasi selama 5 dan 11 hari maka kadar
air tanah pada kedua waktu tersebut turun masing- masing menjadi 26 sampai 27%
dan 12 sampai 13%. Untuk tanah
bertekstur lempung berpasir, ketiga kisaran kadar air tersebut setara dengan
tekanan sebesar masing-masing 0,1, 10 dan 100 bar. Dengan demikian, air yang tersisa di dalam
tanah setelah menerima tekanan antara 0,1 sampai 100 bar, sebagaimana ditemui
pada lahan yang diteliti, masih termasuk kategori air tersedia bagi tanaman
termasuk tanaman pangan.
2.7
Kualitas Tanah Bekas Tambang
Peningkatan kualitas
kimia tanah pada lahan bekas tambang setelah direklamasi selama 8 dan 12 tahun
disajikan pada Tabel 2. Derajat
kemasaman tanah sudah berada pada kisaran yang sesuai untuk tanaman pangan,
dimana pH berkisar antara 4,3 sampai 4,5
untuk umur vegetasi 8 tahun dan 4,2 sampai 4,3 untuk umur vegetasi 12
tahun. Padi sawah dan padi gogo dapat
tumbuh baik pada kisaran pH 4,0 sampai 8,5 meskipun pertumbuhan optimum akan
dicapai pada kisaran pH 5,0 sampai 8,0, sementara jenis tanaman pangan non-padi
menghendaki kisaran pH 4,5 sampai 8,5 (Djaenuddin et al ., 1994; Islami dan Utomo, 1995).
Dengan demikian, lahan bekas tambang yang diteliti baru memiliki tingkat
kemasaman tanah yang sesuai untuk tana man padi. Pemberian kapur mutlak dilakukan untuk
menurunkan derajat kema saman agar lahan tersebut dapat digunakan untuk jenis
tanaman pangan selain padi. Kandungan karbon organik (C-organik) tanah pada
pada lahan yang telah direklamasi selama 8 dan 12 tahun sudah meningkat ke level yang sesuai
untuk tanaman pangan (diatas 0,8%).
Meskipun demikian, tanah akan rentan terhadap pemadatan karena memiliki
struktur yang tidak stabil apabila kandungan C-organik kurang dari 2% (Hermawan, 1995). Selain itu, tanaman pangan akan tumbuh secara
optimum apabila kandungan karbonorganik berada diatas 5% (Taylor et al., 2010). Penambahan bahan organik tetap harus
dilakukan apabila lahan bekas tambang yang diteliti akan dialihfungsikan
menjadi lahan pertanian tanaman pangan.
Tabel
1. Kesesuaian variabel fisik tanah pada lahan timbunan bekas tambang yang telah
direvegetasi selama 8 dan 12 tahun untuk
tanaman pangan.
Tabel
2. Kesesuaian variabel ki mia tanah pada lahan timbunan bekas tambang yang
telah direvegetasi selama 8 dan 12 tahun
untuk tanaman pangan.
Kandungan nitrogen, fosfor dan kalium
pada lahan bekas tambang masih tergolong sangat rendah sampai rendah meskipun
sudah dinyatakan sesuai untuk budidaya tanaman pangan. Pemberian pupuk nitrogen, fosfor dan kalium
sangat direkomendasikan mengingat tanaman pangan membutuhkan ketiga unsur hara
tersebut dalam jumlah yang besar.
Secara singkat, karakteristik dan potensi lahan
pertambangan, khususnya tambang batubara di daerah ini adalah umumnya berada
pada daerah perbukitan lipatan dan angkatan dari batuan sedimen masam
(batupasir, batuliat, serpih dan batulumpur) adalah:
a. Bentuk wilayah umumnya berbukit dan
sedikit bergelombang. Lahan berbukit dengan lereng > 15% lebih dominan dari
pada Iahan datar sampai berombak dan bergelombang.
b. Tanah pada timbunan bekas tambang
bertekstur halus, masif, porositas sangat rendah sehingga mudah menggenang jika
hujan, pH tanah masam.
c. Potensi lahan lebih sesuai untuk
tanaman tahunan karet dan kelapa sawit termasuk jenis kayu-kayuan (misal sengon
dan akasia) pada lahan berlereng. Pada lahan datar bekas timbunan lebih sesuai
untuk padi sawah dari pada palawija lahan kering.
d. Perbaikan terhadap kondisi tanah yang
massif adalah dengan pemberian bahan organik atau pupuk kandang disertai
pengemburan tanah agar tercipta aerasi tanah yang lebih baik. Pemberian pupuk
buatan anorganik mutlak diperlukan karena kesuburannya sangat rendah. Lahan-lahan
yang potensial untuk pertanian baik yang telah diberi ijin lokasi perkebunan
maupun pada lahan APL termasuk lahan HP jika dibutuhkan tidak dibiarkan
terlantar dan akan terdegradasi oleh proses erosi. Perlu adanya suatu ketegasan
dan kebijakan dari daerah maupun pusat agar dimanfaatkan secara optimal secara
terkend.ali dan berkelanjutan. Lahan-lahan bekas tambang yang potensial untuk
pertanian dapat dimanfaatkan dengan suatu perlakuan khusus, terutama pemanfaatn
bahan organik. Luas dan penyebaran secara akurat dari lahan bekas tambang untuk
dapat diketahui potensinya perlu dilakukan pada identifikasi dan pemetaan
tingkat semi detail minimal berskala 1:25.000.
BAB 3. PEMBAHASAN
3.1 Gambaran Reklamasi dan Revegetasi
A. Reklamasi
Reklamasi bekas tambang merupakan
usaha memperbaiki atau memulihkan kembali lahan dan vegetasi dalam kawasan
hutan yang rusak sebagai akibat kegiatan usaha pertambangan dan energi agar
dapat berfungsi secara optimal sesuai dengan peruntukannya. Kegiatan ini
dimaksudkan untuk memulihkan, mempertahankan dan meningkatkan fungsi hutan dan
lahan sehingga daya dukung, produktifitas, dan peranannya dalam mendukung
sistem penyangga kehidupan tetap
terjaga. Selain itu juga untuk menambah produktivitas
biologis, mengur angi laju erosi tanah, menambah kesuburan tanah dan menambah
kontrol biotik terhadap aliran biogeokimia dalam ekosistem yang ditutupi
tanaman. Membuat keadaan lahan menjadi lebih baik untuk dibudidayakan, atau membuat sesuatu yang sudah bagus menjadi
lebih bagus, sama sekali tidak mengandung implikasi pemulihan ke kondisi asal
tapi yang lebih diutamakan adalah fungsi dan asas kemanfaatan lahan. Kegiatan
reklamasi meliputi:
1. Penyiapan Lahan
Lahan marginal tersebut
belum sepenuhnya mencapai tingkat kesesuaian
yang sempurna, karena beberapa variabel masih dalam kondisi
marjinal dan memerlukan perhatian
tersendiri. Variabel-variabel yang harus diperhatikan apabila lahan bekas
tambang akan dialihfungsikan menjadi lahan pertanian adalah kepadatan tanah,
kemasaman tanah (pH), dan ketersedi aan unsur hara fosfor. Kepadatan tanah, yang dalam penelitian ini
diperlihatkan oleh nilai resistensi penetrasi, berpengaruh terhadap laju
pertumbuhan akar tanaman dan pergerakan
air di dalam tanah. Masih tingginya
nilai resistensi penetrasi pada lahan bekas tambang dapat menghambat
pertumbuhan tanaman pertanian apabila tidak dilakukan tindakan pengelolaan yang
tepat. Sementara kemasaman tanah yang
masih relatif tinggi dan kandungan fosfor yang rendah perlu diatasi agar
faktor-faktor pendukung pertumbuhan tanaman ya ng lain dapatbekerja secara
optimal.
Tanah pada lahan bekas
tambang memerlukan tindakan pengolahan secara intensif, terutama ketika
baru pertama kali diusahakan untuk
tanaman pertanian. Tindakan diperlukan
untuk menghilangkan kepadatan tanah yang belum sepenuhnya teratasi melalui
penanaman vegetasi reklamasi. Mengingat
lahan yang diteliti memiliki kandungan pasir yang cukup tinggi (di atas 50%),
dalam jangka panjang tindakan pengolahan tanah intensif tersebut dapat
dikombinasi dengan teknik-teknik pengolahan tanah konservasi seperti olah tanah
minimum dan tanpa olah tanah. Pengurangan
intensitas pengolahan dapat dilakukan pada tanah-tanah berpasir karena proses
pemadatan pada jenis tanah tersebut lebih
lambat dibandingkan pada tanah-tanah bertekstur halus. Kegiatan
penyiapan lahan meliputi:
a.
Rekontruksi Tanah
Untuk
mencapai tujuan restorasi perlu dilakukan upaya seperti rekonstruksi lahan dan
pengelolaan tanah pucuk. Pada kegiatan ini, lahan yang masih belum rata harus
terlebih dahulu ditata dengan penimbunan kembali (back filling) dengan
memperhatikan jenis dan asal bahan urugan, ketebalan, dan ada tidaknya sistem
aliran air (drainase) yang kemungkinan terganggu. Pengembalian bahan galian ke
asalnya diupayakan mendekati keadaan aslinya. Ketebalan penutupan tanah (sub-soil)
berkisar 70-120 cm yang dilanjutkan dengan re-distribusi tanah pucuk
b.
Perataan dan Perapihan Lahan
Perataan dan perapihan lahan perlu dilakukan agar tanah atas (topsoil) tetap
berada di posisinya untuk menghindari erosi lebih lanjut.
c.
Pengapuran
Pemberian
kapur pertanian dan penambahan pupuk
fosfor harus dilakukan pada lahan bekas tambang yang akan dimanfaatkan untuk
lahan pertanian tanaman pangan. Dosis dan jenis bahan kapur dan pupuk yang digunakan
dapat disesuaikan dengan ketersediaan
yang ada serta dengan jenis komoditas yang diusahakan. Meskipun kandungan nitrogen dan kalium
berada pada harkat yang lebih tinggi dibandingkan fosfor, penambahan kedua
unsur tersebut juga dibutuhkan untuk menjaga keseimbangan hara di dalam tanah
setelah sebagian terangkut oleh tanaman pada saat panen. Pengembalian sisa-sisa
tanaman ke dalam tanah dapat mengembalikan unsur hara dan mengurangi jumlah
pupuk yang diberikan.
d.
Penggemburan
Lahan
Penggemburan
lahan diperlukan agar tanah menjadi
lebih subur. Hal-hal yang perlu dilakukan pada kegiatan ini adalah: penambahan pupuk, penambahan
mikroorganisme.
2. Menanam Tanaman Cover Crop atau Tanaman Pioner
Beragam jenis tumbuhan
dapat digunakan sebagai tumbuhan penutup tanah. Pada awalnya, yang digunakan
adalah uraso (Sacharum sp), tetapi mulai tahun 2003, penggunaan uraso telah
diganti oleh signal grass (Brachiaria
decumbens). Bersamaan dengan itu, dilakukan juga secara bertahap penggantian
uraso (Sacharum sp) di lapangan dengan
signal grass (Brachiaria decumbens) untuk tegakan tahun 2003 ke atas.
Grafik 1. Persentase penutupan
tajuk dan penutupan tanah oleh cover crops
Signal grass (Brachiaria decumbens) digunakan karena
memiliki sifat yang dapat cepat tumbuh menutupi lahan, dapat berkembang pada
daerah yang miskin hara dan dapat mengontrol erosi (Shelton, 2007). Tetapi,
seperti halnya uraso (Sacharum sp) yang memiliki penutupan lahan sangat rapat,
keberadaannya dapat menghambat terjadinya
rekolonisasi. Rekolonisasi pada tegakan 2003 ke atas, diduga terjadi
pada saat masa penggantian tanaman penutupan tanah itu. Dimulai tahun 2005,
kombinasi dari beberapa tanaman yaitu Wynn cassia, burgundi, jenis Leguminaceae
, Crotalaria sp. mulai dipergunakan
sebagai tumbuhan penutup tanah. Leguminaceae dipilih karena dapat menambah N
tanah, tidak berkompetisi dengan tanaman pokok, juga beberapa jenisnya sangat
toleran terhadap tanah miskin (Hadjowigeno, 1987).
Penutupan lahan
oleh signal grass (Brcahiaria decumbens), telah menghasilkan
reduksi erosi yang cukup baik. Pada areal Ponsesa tahun tanam 1999 ditemukan
situs erosi alur yang tidak aktif karena telah tertutupi oleh tumbuhan penutup
tanah. Dalam artian bahwa kemungkinan erosi itu terjadi pada saat lahan belum
tertutupi dengan baik oleh tumbuhan penutup tanah dan intensitasnya lambat laun
berkurang seiring perkembangan tumbuhan penutup tanah. Water log dapat ditemukan pada areal muda
dengan tahun tanam 2006 dan 2007 yang terdapat di luar tegakan.
Penutupan tanah oleh
tumbuhan penutup tanah berkaitan erat dengan kondisi serasah juga penutupan
tajuk. Semakin rapat penutupan tajuk, maka akan semakin rendah persentase
penutupan tanah dan dapat menyebabkan serasah langsung jatuh ke tanah yang
memudahkan untuk terjadinya dekomposisi.
Penggunaan cover crop
pada tahap rekalamasi di lahan bekas tambang mempunyai fungsi untuk:
1.
Meningkatkan kesuburan dan kelembaban
tanah.
2.
Sebagai habitat awal fauna
3.
Tempat tumbuh tanaman lain yang bijinya terbawa oleh fauna/binatang
Gambar
1. Poeraria Javanicum
Keuntungan
menanam rumput teki (Cyperus rotundus)
sebagai tanaman pioner:
>> umbinya
mahal
>> rumputnya buat pakan ternak
Gambar 2.
Rumput Teki (Cyperus rotundus)
Keuntungan Rumput
Signal (Brachiaria
decumbens):
>>
produktivitasnya tinggi
>>
toleran terhadap kesuburan tanah yang rendah
>>
tahan hama penyakit
>>
dapat mengendalikan erosi.
. Gambar 3.
Signal Grass
B. Revegetasi
Revegatasi adalah kegiatan penanaman kembali pada lahan bekas tambang sebagai
usaha memenghindari erosi lahan, membangun habitat bagi satwa liar,
biodiversitas, memperbaiki produktivitas dan kestabilan tanah, memperbaiki
kondisi lingkungan. Model
revegetasi dalam rehabilitasi lahan yang
terdegradasi terdiri dari beberapa model antara lain restorasi (memiliki aksentuasi pada fungsi
proteksi dan konservasi serta bertujuan
untuk kembali ke kondisi awal), reforestasi dan agroforestri. Tujuan revegetasi
ini menjaga lahan terkena erosi dan aliran permukaan yang deras; membangun
habitat bagi satwaliar; membangun keanekaragaman jenis-jenis lokal; memperbaiki
produktivitas dan kestabilan tanah; memperbaiki kondisi lingkungan secara
biologis dan estetika; dan menyediakan tempat perlindungan bagi jenis-jenis
lokal dan plasma nutfah
Perbaikan kondisi tanah meliputi
perbaikan ruang tubuh, pemberian tanah pucuk dan bahan organik serta pemupukan
dasar dan pemberian kapur. Kendala yang dijumpai dalam merestorasi lahan bekas
tambang yaitu masalah fisik, kimia (nutrients dan toxicity), dan
biologi. Masalah fisik tanah mencakup tekstur dan struktur tanah. Masalah kimia
tanah berhubungan dengan reaksi tanah (pH), kekurangan unsur hara, dan mineral toxicity.
Untuk mengatasi pH yang rendah dapat dilakukan dengan cara penambahan kapur.
Sedangkan kendala biologi seperti tidak adanya penutupan vegetasi dan tidak
adanya mikroorganisme potensial dapat diatasi dengan perbaikan kondisi tanah,
pemilihan jenis pohon, dan pemanfaatan mikroriza.
Secara
ekologi, spesies tanaman lokal dapat beradaptasi dengan iklim setempat tetapi
tidak untuk kondisi tanah. Untuk itu diperlukan pemilihan spesies yang cocok
dengan kondisi setempat, terutama untuk jenis-jenis yang cepat tumbuh misalnya
sengon, yang telah terbukti adaptif untuk tambang. Dengan dilakukannya
penanaman sengon minimal dapat mengubah iklim mikro pada lahan bekas tambang
tersebut. Untuk menunjang keberhasilan dalam merestorasi lahan bekas tambang,
maka dilakukan langkah-langkah seperti perbaikan lahan pra-tanam, pemilihan
spesies yang cocok, dan penggunaan pupuk.
Untuk mengevaluasi
tingkat keberhasilan pertumbuhan tanaman pada lahan bekas tambang, dapat
ditentukan dari persentasi daya tumbuhnya, persentasi penutupan tajuknya,
pertumbuhannya, perkembangan akarnya, penambahan spesies pada lahan tersebut,
peningkatan humus, pengurangan erosi, dan fungsi sebagai filter alam. Dengan
cara tersebut, maka dapat diketahui sejauh mana tingkat keberhasilan yang
dicapai dalam merestorasi lahan bekas tambang (Rahmawaty, 2002). Kegiatan
revegetasi dilahan bekas tambang yang dapat menunjang keberlajutannya sistem
pertania antara lain:
1. Introduksi Tanaman Keras
Berikut tabel
pertumbuhan dengan beberapa species tanaman yang dilakukan.
Beberapa tanaman yang
mencapai persen tumbuh 100% pada tahun ketiga merupakan tanaman pionir lokal
yaitu Sandro (Sandoricum kacappeae) dan Uru (Elmerelia sp). Hal itu menandakan
bahwa karakteristik lahan sudah cukup baik bagi tumbuhnya jenis-jenis lokal. Dan
juga sudah sejalan dengan peraturan pemerintah yang mengharuskan penanaman
jenis lokal di areal bekas tambang. Beberapa
hal yang dapat menjadi faktor meningkatnya pertumbuhan, antara lain persiapan
lahan yang baik serta kondisi bibit yang memiliki daya tahan yang baik juga
perakaran yang menunjang
Revegetasi yang sukses tergantung
pada pemilihan vegetasi yang adaptif, tumbuh sesuai dengan karakteristik tanah,
iklim dan kegiatan pasca penambangan. Vegetasi yang cocok untuk tanah berbatu
termasuk klasifikasi herba, pohon dan rumput yang cepat tumbuh, sehingga dapat
mengendalikan erosi tanah. Tumbuhan yang bersimbiosis dengan mikroorganisme
tanah yang mampu memfiksasi nitrogen adalah salah satu vegetasi revegetasi
lahan pasca tambang, seperti tanaman yang term asuk dalam famili Leguminoceaea.
.Grafik 2. Pertumbuhan
tanaman di lahan bekas tambang
Pada setiap areal yang
diamati, rekolonisasi sudah terjadi dalam skala kecil. Pada umumnya,
rekolonisasi yang terjadi didominasi oleh liana tak berkayu dari jenis Mikania micrantha. Jenis ini sangatlah mudah
untuk tumbuh dan merambat melalui mekanisme fototaksis. Penyebarannya pun
relatif cepat, karena biji dari Mikania micrantha ini sangat kecil dan mudah
untuk terbawa angin (ISSG, 2005). Dengan kondisi seperti itu, maka tidak
mengherankan jika jenis ini sangat mudah ditemukan di seluruh areal revegetasi
kecuali di Daerah Butoh (tahun tanam 1985) dan Koro serta Petea dengan tahun
tanam masing-masing 2007 dan 2006. Tumbuhnya jenis Mikania micrantha ini diduga
berasal dari kompos yang digunakan pada saat persiapan lahan dan penanaman.
Akan tetapi, seiring berjalannya waktu,
penyebaran jenis ini yang sangat cepat dan invasif, menjadikan jenis ini
memiliki dampak negatif terhadap program revegetasi yaitu dengan cara menjadi
gulma dan dapat menghambat pertumbuhan tanaman pokok.
2.
Penerapan
Agrosilvopastura
Agrosilvopastura merupakan kombinasi antara
tanaman pertanian, tanaman kehutanan, dan peternakan. Agrosilvopastura
diterapkan setelah proses reklamasi selesai dilakukan. Untuk penerapan pada
lahan bekas tambang diawali dengan penanaman rumput teki sebagai tanaman pioner
untuk awalan, karena tanaman rumput teki memiliki kemampuan bertahan hidup
dalam kondisi tanah yang miskin unsur hara. Pertumbuhannya normal meskipun
dalam kondisi kritis, dan dapat menghasilkan umbi yang memiliki gizi yang baik,
mudah tumbuh, dan budidayanya tidaklah sulit, serta harga umbinya tinggi dan
bisa diperjualbelikan. Lalu, ketika tanah sudah memiliki cukup unsur hara,
dapat dilakukan penanaman budidaya jangka panjang seperti tanaman kehutanan,
contoh tanaman kayu-kayuan seperti sengon, karet, jati, dll. Setelah itu bisa
ditambah fungsinya di bidang peternakan, seperti pemeliharaan ternak yang biasa
hidup dengan memakan apa yang ada disekitar lahan, sehingga tidak sulit untuk
memperolehnya. Proses ini sangat terkait dan saling bersinergis sehingga ada
perputaran siklus untuk kehidupan jangka panjang dan prosesnya akan
berkelanjutan bagi objek-objek yang ada pada suatu populasi di lahan bekas
tambang yang telah dibudidayakan tersebut.
Untuk
menerapkan sistem ini memang butuh proses intensif yang cukup lama, karena
ukuran lahan yang akan direvolusi cukup luas dan butuh dana investasi yang
cukup banyak. Namun dengan sistem agrosilvopastura lahan bekas tambang yang
sebelumnya adalah lahan yang miskin akan berevolusi menjadi lahan hijau yang
lebih baik dan meningkatkan kebutuhan pangan untuk negeri ini.
Agrosilvikultur
secara agroekologi sangat menunjang berjalannya sistem pertanian yang
berkelanjutan. Dimana pada sistem ini perpaduan antar tanaman pertanian,
kehutanan, dan ternak dalam satu lahan dapat meningkatkan interaksi biologi dalam
suatu ekosistem. Pemilihan agrosilvikultur sebagai salah satu upaya revegetasi
pada lahan bekas tambang karena dinilai merupakan solusi yang baik. Tanaman
kehutanan dapat menahan erosi hebat dari lahan bekas tambang. Sedangkan tanaman
pertanian merupakan pengahasilan bagi penduduk sekitar. Dan hewan ternak dapat
dimanfaatkan kotorannya sebagai bio-fertilizer. Secara spesifik berikut
disajaikan analisis keberlanjutan sistem agrosilvikultur di lahan bekas tambang
ditinjau dari segi ekonomi, ekologi, dan sosial budaya.
A. Analisis ekonomi:
-
Lahan bekas tambang yang merupakan lahan
marginal dimanfaatkan untuk kegiatan pertanian dan peternakan, secara ekonomi
pasti mendatangkan keuntungan tersendiri dari kegiatan budidaya ini.
-
Secara otomatis kegiatan budidaya di
lahan bekas tambang dapat meningkatkan pendapatan penduduk lokal secara
berkelanjutan.
-
Ketahanan pangan dapat terpenuhi karena
memadukan tanaman pertanian dalam kegiatan budidayanya.
-
Hasil dari kegiatan budidaya di lahan
marginal juga mampu bersaing dengan produk berkualitas lainnya dengan
pengolahan yang benar.
-
Secara nasional menguntungkan karena
dapat membantu melaksanakan pembangunan nasional dengan memanfaatkan sumberdaya
yang ada.
B. Analisis ekologi:
-
Dengan pemanfaatan lahan gambut untuk
kegiatan pertanian berarti menyediakan tempat tinggal bagi flora dan fauna
sehingga biodeversitas semakin meningkat.
-
Kotoran hewan dan tanaman di lahan bekas
tambang dapat membantu dalam menyuburkan tanah, bahkan dapat memperbaiki sifat
fisik, kimia, dan biologi tanah yang telah rusak akibat kegiatan pertambangan.
-
Tanaman dilahan gambut dapat menjadi
filter bagi air sehingga kualitas air di lahan bekas tambang semakin meningkat,
selain itu akar tanaman dapat membantu dalam menyimpan air serta menahan
terjadinya erosi.
-
Budidaya di lahan bekas tambang dapat
mengurangi zat beracun yang dihasilkan dari kegiatan pertambangan.
-
Secara etetika, keberadaan sistem
agrosilvopastura dapat mempengaruhi landscape menjadi lebih baik dari pada
kondisi ketika lahan bekas tambang yang tidak dimanfaatkan.
-
Iklim mikro sekitar lahan pertanaman
bekas tambang lebih terjaga dan stabil.
-
Tercipta interaksi biologi yang sangat
erat dari kegiatan revegetasi di lahan bekas tambang.
C. Analisis Sosial-Budaya
-
Biasanya di lahan marginal penduduknya
masih berada di bawah garis kemiskinan, dengan aplikasi agrosilvopastura dapat
melibatkan masyarakat dalam kegiatannya sehingga dapat meningkatkan pendapatan
mereka.
-
Dapat menciptakan lapangan kerja bagi
masyarakat lokal khususnya.
-
Agrosilvopastura merupakan salah satu
teknologi pertanian yang aman dan ramah lingkungan.
-
Dapat meningkatkan kesejahteraan
penduduk.
-
Dapat menekan akibat buruk dari kegiatan
pertambangan.
3.2 Budidaya di Lahan
Bekas Tambang
A. Manajemen Pengairan
Drainase
pada lingkungan pasca tambang dikelola secara seksama untuk menghindari efek
pelarutan sulfida logam dan bencana banjir yang sangat berbahaya, dapat
menyebabkan rusak atau jebolnya bendungan penampung tailing serta
infrastruktur lainnya. Kapasitas drainase harus memperhitungkan iklim dalam
jangka panjang, curah hujan maksimum, serta banjir besar yang biasa terjadi
dalam kurun waktu tertentu baik periode waktu jangka panjang maupun pendek.
Arah
aliran yang tidak terhindarkan harus meleweti zona mengandung sulfida logam,
perlu pelapisan pada badan alur drainase menggunakan bahan impermeabel. Hal ini
untuk menghindarkan pelarutan sulfida logam yang potensial menghasilkan air
asam tambang
Gambar
4. Penanganan drainase lahan bekas tambang emas Mesel, Minahasa, Sulawesi Utara
B. Manajemen
Pemupukan
Untuk
menunjang pertanian berkelanjutan, pupuk yang digunakan berupa pupuk organik.
Pemberian pupuk organik bertujuan untuk memperbaiki sifat fisika dan biologi tanah selain itu juga
ditujukan untuk memberikan tambahan unsur hara kedalam tanah, terutama unsur nitrogen. Pupuk organik didapat
dari kotoran hewan ternak dan kotoran dari tanaman berupa ranting, daun, dll.
Bahan pupuk tersebut dapat diolah menjadi pupuk kompos. Selain itu, dapat pula
ditambahkan pupuk mikoriza. Dengan mikoriza dapat membantu menyerap pupuk P lebih tinggi (10-27%).
BAB
4. PENUTUP
4.1
Kesimpulan
1. Reklamasi
merupakan usaha memperbaiki atau memulihkan kembali lahan dan vegetasi dalam kawasan
hutan yang rusak sebagai akibat kegiatan usaha pertambangan dan energi.
2. Revegetasi
adalah usaha atau kegiatan penanaman kembali lahan bekas tambang.
3. Kegiatan
revegetasi meliputi seleksi dari tanaman lokal yang potensial, produksi bibit,
penyiapan lahan, manajemen tanah, teknik penanaman, pemeliharaan, dan program
monitoring.
4. Berdasarkan
analisis ekonomi, ekologi, dan sosial budaya, agrosilvopastura termasuk
penerapan sistem pertanian berkelanjutan.
5. Budidaya
tanaman pada lahan bekas tambang dinilai kurang cocok karena proses untuk
menyuburkan tanah dibutuhkan waktu yang cukup lama sekitar 8-12 tahun.
4.2
Saran
Saran
yang diberikan pada usaha budidaya tanaman pada lahan bekas tambang ini adalah
sangat perlu untuk dipraktikkan mengingat lahan bekas tambang di Indonesia
semakin luas dan tidak berdayaguna lagi untuk itu perlu diadakan reklamasi dan
revegetasi untuk jangka panjang yang lebih baik dan untuk memenuhi ketahanan
pangan di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Departemen
Kehutanan, Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial. 1997. Pedoman Reklamasi Lahan Tambang. Jakarta : Dephut.
Daniel
TW, JA Helms dan FS Baker. 1987. Prinsip-Prinsip
Silvikultur. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Departement
of Industry Tourism and Resources, Australian Government.2006. Mine
Rehabilitation: Leading Practice Sustainable Development Program for The Mining
Industry. Commonwhealth of Australia.
Hardjowigeno S. 1995. Ilmu Tanah (Edisi Revisi). Akademika
Pressindo. Jakarta.
Mueller-Dombois
D, Ellenberg H. 1974. Aims and Method of Vegetation Ecology (Wiley
International Edition). John Wiley and Sons, Inc. United States of America.
Setiawan
IE. 2003. Evaluasi Tingkat Keberhasilan
Revegetasi Pada Lahan Bekas Tambang Timah PT. KOBA TIN, Koba, Bangka- Belitung.
Skripsi. Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan. Fakultas Kehutanan.
Soerianegara
I, Indrawan A. 1987. Ekologi Hutan Indonesia. Laboratorium Ekologi Hutan.
Fakultas Kehutanan IPB, Bogor.
Sutisna
U, Karlina T, Purnadjaja. 1998. Pedoman Pengenalan Pohon Hutan Indonesia.
Yayasan PROSEA, Bogor dan Pusdiklat Pegawai & SDM Departemen Kehutanan.
Bogor. IPB.
thank you,.,.,., sangat membantu materinya
BalasHapusgood...membantu
BalasHapus