Selasa, 23 April 2013

reklamasi lahan tambang


REKLAMASI dan REVEGATASI TANAMAN PADA LAHAN BEKAS TAMBANG DI SULAWESI SELATAN



Tugas ini disusun untuk memenuhi Mata Kuliah Penerapan Sistem Pertanian Berkelanjutan



OLEH
1.      Ganda Arief S.             (111510501100)
2.      Dewi Puspa A.              (111510501110)
3.      Ajeng Widyaningrum   (111510501111)
4.      Sheilla Anandyta R.     (111510501112)




PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI/ BEASISWA UNGGULAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS JEMBER

2012

BAB 1. PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Kebutuhan pangan terus meningkat sementara ketersediaan lahan semakin menurun dengan adanya alih fungsi lahan pertanian untuk kegiatankegiatan di luar pertanian. Guna mengatasi permasalahan tersebut maka minimal ada dua hal yang harus dilakukan: pertama adalah mengendalikan alih fungsi lahan pertanian, dan ke dua adalah meningkatkan kualitas lahan kritis agar dapat kembali berfungsi sebagai lahan pertanian. Alternatif ke dua harus digalakkan untuk mengantisipasi kegagalan dalam mengendalikan alih fungsi lahan pertanian untuk kegiatan di luar pertanian.
Salah satu lahan kritis yang berpotensi untuk dialihfungsikan menjadi lahan pertanian adalah lahan bekas tambang batubara. Lahan bekas tambang seperti batubara, pasir, emas dll yang biasanya memiliki tingkat kepadatan yang tinggi dan kurang subur dikarenakan adanya bahan-bahan timbunan yang berasal dari lapisan bawah tanah, baik horizon C maupun bahan induk tanah. Lalu lintas alat-alat berat selama proses penambangan dan penimbunan juga berperan penting dalam menghasilkan lapisan tanah permukaan yang padat dan terjadinya penutupan pori-pori tanah (surface sealing and crusting) (Hermawan, 2002). Dalam kondisi yang demikian, sebagian besar tanaman pangan tidak mampu tumbuh baik karena terbatasnya penetrasi akar ke dalam tanah untuk mendapatkan air dan nutrisi. Air infiltrasi seperti curah hujan dan irigasi menjadi sulit menembus permukaan tanah dengan adanya penutupan pori tersebut. Perkecambahan benih tanaman juga menjadi terhambat pada tanahtanah di lahan bekas tambang akibat pembentukan kerak (crust formation) dan peningkatan kekuatan tanah ketika tanah menjadi kering (Whitemore et al., 2011).
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 76 Tahun 2008 tentang Rehabilitasi dan Reklamasi Hutan mengharuskan setiap perusahaan tambang untuk melakukan revegetasi pada lahan-lahan kritis bekas tambang. Tindakan revegetasi tersebut dilakukan dengan menanam vegetasi reklamasi pada lokasi-lokasi yang sudah selesai ditambang meskipun aktivitas pertambangan secara keseluruhan masih berjalan. Tujuan dari reklamasi tersebut adalah untuk meningkatkan produktivitas lahan bekas tambang antara lain dengan dialihfungsikan untuk produksi tanaman pertanian. Apabila izin usaha penambangan diberikan kepada perusahaan Badan Usaha Milik Negara, maka perusahaan diwajibkan untuk mencadangkan sebagian lahan bekas tambang yang telah direklamasi tersebut untuk mendukung ketahanan pangan.
Taylor et al. (2010) merangkum variabel kualitas tanah yangperubahannya berpengaruh secara signifikan terhadap pertumbuhan tanaman. Variabel tersebut antara lain adalah pH, nitrogen total, fosfor tersedia, serta kalium, kalsium, besi dan aluminium dapat ditukar. Dengan demikian, variabel tersebut harus dipertimbangkan dalam mengevaluasi peningkatan kualitas tanah bekas tambang dalam rangka pencadangan lahan untuk pertanian tanaman pangan. Selain itu, tekstur dan karbon organik tanah merupakan variabel lain yang harus dievaluasi karena keduanya sangat menentukan kebutuhan dan efisiensi penambahan unsur hara melalui pemupukan (Hermawan et al., 2000). Proses alihfungsi lahan bekas tambang menjadi lahan pertanian tanaman pangan membutuhkan tiga tahapan reklamasi. Ketiga tahapan reklamasi tersebut adalah sebagai berikut: (i) pemulihan fungsi lahan yang telah kritis dan rusak, antara lain melalui penanaman vegetasi reklamasi, (ii) peningkatan fungsi lahan kritis dan lahan rusak yang sudah dipulihkan agar menjadi lahan yang produktif, termasuk untuk produksi tanaman pangan, dan (iii) pemeliharaan fungsi lahan yang fungsinya telah dipulihkan dan ditingkatkan tersebut agar tidak kembali menjadi lahan kritis dan lahanrusak. Berdasarkan uraian di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi peningkatan beberapa variabel kualitas tanah pada lahan bekas tambang batubara pasca reklamasi agar sesuai untuk alih fungsi menjadi lahan pertanian tanaman pangan.

1.2  Tujuan
Tujuan dari makalah ini adalah agar kita dapat mengetahui bagaimana cara mengelola lahan bekas galian dan cara untuk membudidayakan tanaman di lahan ini.
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pertambangan
            Kegiatan pertambangan adalah bagian dari kegiatan pembangunan ekonomi yang mendayagunakan sumber daya alam dan diharapkan dapat menjamin kehidupan di masa yang akan datang. Sumber daya alam yang tidak terbarukan harus dikelola agar fungsinya dapat berkelanjutan. Pelaksanaan pertambangan diharapkan dapat memberikan jaminan pengembangan dalam praktek rehabilitasi serta mengaplikasikan praktek berkelanjutan. Persoalan yang akan timbul akibat dari kegiatan pertambangan yang kurang tepat dapat menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan berupa penurunan produksivitas tanah, pemadatan tanah, terjadinya erosi dan sedimentasi, terjadinya gerakan tanah/longsoran, penurunan biodiversitas flora dan fauna serta perubahan iklim mikro (Darwo, 2003).
A.  Kegiatan Pertambangan dan Aspek Lingkungan
Kegiatan pertambangan merupakan kegiatan usaha yang kompleks dan sangat rumit, sarat risisko, merupakan kegiatan usaha jangka panjang, melibatkan teknologi tinggi, padat modal, dan aturan regulasi yang dikeluarkan dari beberapa sektor. Selain itu, kegiatan pertambangan mempunyai daya ubah lingkungan yang besar, sehingga memerlukan perencanaan total yang matang sejak tahap awal sampai pasca tambang. Pada saat membuka tambang, sudah harus difahami bagaimana menutup tambang. Rehabilitasi/reklamasi tambang bersifat progresif, sesuai rencana tata guna lahan pasca tambang.
Tahapan kegiatan perencanaan tambang meliputi penaksiran sumberdaya dan cadangan, perancangan batas penambangan (final/ultimate pit limit), pentahapan tambang, penjadwalan produksi tambang, perancangan tempat penimbunan (waste dump design), perhitungan kebutuhan alat dan tenaga kerja, perhitungan biaya modal dan biaya operasi, evaluasi finansial, analisis dampak lingkungan, tanggung jawab sosial perusahaan (Corporate Social Responsibility) termasuk pengembangan masyarakat (Community Development) serta Penutupan tambang. Perencanaan tambang, sejak awal sudah melakukan upaya yang sistematis untuk mengantisipasi perlindungan lingkungan dan pengembangan pegawai dan masyarakat sekitar tambang (Arif, 2007).Kegiatan pertambangan pada umumnya memiliki tahap-tahap kegiatan sebagai berikut :
1.       Eksplorasi
2.       Ekstraksi dan pembuangan limbah batuan
3.       Pengolahan bijih dan operasional pabrik pengolahan
4.       Penampungan tailing, pengolahan dan pembuangannya
5.       Pembangunan infrastuktur, jalan akses dan sumber energi
6.       Pembangunan kamp kerja dan kawasan pemukiman.
Pengaruh pertambangan pada aspek lingkungan terutama berasal dari tahapan ekstraksi dan pembuangan limbah batuan, dan pengolahan bijih serta operasional pabrik pengolahan.
Diperkirakan lebih dari 2/3 kegiatan eksrtaksi bahan mineral di dunia dilakukan dengan pertambangan terbuka. Teknik tambang terbuka biasanya dilakukan dengan open-pit mining, strip mining, dan quarrying, tergantung pada bentuk geometris tambang dan bahan yang digali.
Ekstraksi bahan mineral dengan tambang terbuka sering menyebabkan terpotongnya puncak gunung dan menimbulkan lubang yang besar. Salah satu teknik tambang terbuka adalah metode strip mining (tambang bidang). Dengan menggunakan alat pengeruk, penggalian dilakukan pada suatu bidang galian yang sempit untuk mengambil mineral. Setelah mineral diambil, dibuat bidang galian baru di dekat lokasi galian yang lama. Batuan limbah yang dihasilkan digunakan untuk menutup lubang yang dihasilkan oleh galian sebelumnya. Teknik tambang seperti ini biasanya digunakan untuk menggali deposit batubara yang tipis dan datar yang terletak didekat permukaan tanah.
Teknik penambangan quarrying bertujuan untuk mengambil batuan ornamen, dan bahan bangunan seperti pasir, kerikil, bahan industri semen, serta batuan urugan jalan. Untuk pengambilan batuan ornamen diperlukan teknik khusus agar blok-blok batuan ornamen yang diambil mempunyai ukuran, bentuk dan kualitas tertentu. Sedangkan untuk pengambilan bahan bangunan tidak memerlukan teknik yang khusus. Teknik yang digunakan serupa dengan teknik tambang terbuka.
Tambang bawah tanah digunakan jika zona mineralisasi terletak jauh di bawah permukaan tanah sehingga jika digunakan cara tambang terbuka jumlah batuan penutup yang harus dipindahkan terlalu besar. Produktifitas tambang bawah tanah 5 sampai 50 kali lebih rendah dibanding tambang terbuka, karena ukuran alat yang digunakan lebih kecil dan akses ke dalam lubang tambang lebih terbatas.
Kegiatan ekstraksi menghasilkan limbah/waste dalam jumlah yang sangat banyak. Total waste yang diproduksi dapat bervariasi antara 10 % sampai sekitar 99,99 % dari total bahan yang ditambang. Limbah utama yang dihasilkan adalah batuan penutup dan limbah batuan. Batuan penutup (overburden) dan limbah batuan adalah lapisan batuan yang tidak/miskin mengandung mineral ekonomi, yang menutupi atau berada di antara zona mineralisasi atau batuan yang mengandung mineral dengan kadar rendah sehingga tidak ekonomis untuk diolah. Penutup umumnya terdiri dari tanah permukaan dan vegetasi sedangkan batuan limbah meliputi batuan yang dipindahkan pada saat pembuatan terowongan, pembukaan dan eksploitasi singkapan bijih serta batuan yang berada bersamaan dengan singkapan bijih.
Hal-hal pokok yang perlu mendapatkan perhatian pada kegiatan ekstraksi dan pembuangan limbah/waste agar sejalan dengan upaya reklamasi adalah :
1.      Luas dan kedalaman zona mineralisasi
2.      Jumlah batuan yang akan ditambang dan yang akan dibuang yang akan menentukan lokasi dan desain penempatan limbah batuan.
3.      Kemungkinan sifat racun limbah batuan
4.      Potensi terjadinya air asam tambang
Dampak terhadap kesehatan dan keselamatan yang berkaitan dengan kegiatan transportasi, penyimpanan dan penggunaan bahan peledak dan bahan kimia racun, bahan radio aktif di kawasan penambangan dan gangguan pernapasan akibat pengaruh debu.
1.      Sifat-sifat geoteknik batuan dan kemungkinan untuk penggunaannya untuk konstruksi sipil (seperti untuk landscaping, dam tailing, atau lapisan lempung untuk pelapis tempat pembuangan tailing).
2.      Pengelolaan (penampungan, pengendalian dan pembuangan) lumpur (untuk pembuangan overburden yang berasal dari sistem penambangan dredging dan semprot).
3.      Kerusakan bentang lahan dan keruntuhan akibat penambangan bawah tanah.
4.      Terlepasnya gas methan dari tambang batubara bawah tanah.
Kegiatan pertambangan dapat berdampak pada perubahan/rusaknya ekosistem. Ekosistem yang rusak diartikan sebagai suatu ekosistem yang tidak dapat lagi menjalankan fungsinya secara optimal, seperti perlindungan tanah, tata air, pengatur cuaca, dan fungsi-fungsi lainnya dalam mengatur perlindungan alam lingkungan. Menurut Jordan (1985 dalam Rahmawaty, 2002), intensitas gangguan ekosistem dikategorikan menjadi tiga, yaitu:
1.      Ringan, apabila struktur dasar suatu ekosistem tidak terganggu, sebagai contoh jika sebatang pohon besar mati atau kemudian roboh yang menyebabkan pohon lain rusak, atau penebangan kayu yang dilakukan secara selektif dan hati-hati,
2.      Menengah, apabila struktur hutannya rusak berat/hancur, namun produktifitasnya tanahnya tidak menurun, misalnya penebangan hutan primer untuk ditanami jenis tanaman lain seperti kopi, coklat, palawija dan lain-lainnya.
3.      Berat, apabila struktur hutan rusak berat/hancur dan produkfitas tanahnya menurun, contohnya terjadi aliran lava dari gunung berapi, penggunaan peralatan berat untuk membersihkan hutan, termasuk dalam hal ini akibat kegiatan pertambangan
Menurut Kusnotodan Kusumodirdjo (1995), dampak lingkungan akibat kegiatan pertambangan antara lain berupa :
1.        Penurunan produktivitas tanah
2.        Pemadatan tanah
3.        Terjadinya erosi dan sedimentasi
4.        Terjadinya gerakan tanah dan longsoran
5.        Terganggunya flora dan fauna
6.        Terganggunya keamanan dan kesehatan penduduk
7.        Perubahan iklim mikro
Sebelum melakukan revegetasi perlu dilakukan reklamasi terlebih dahulu. Reklamasi dan revegetasi harus berjalan selaras dan sesuai agar adanya proses rehabilitasi tersebut menghasilkan suatu kesuburan tanah dengan tujuan menyeimbangkan agroekosistem.

2.2 Reklamasi
Reklamasi bekas tambang yang selanjutnya disebut reklamasi adalah usaha memperbaiki atau memulihkan kembali lahan dan vegetasi dalam kawasan hutan yang rusak sebagai akibat kegiatan usaha pertambangan dan energi agar dapat berfungsi secara optimal sesuai dengan peruntukannya. (Permenhut Nomor: 146-Kpts-II-1999). Rehabilitasi hutan dan lahan adalah kegiatan yang dimaksudkan untuk memulihkan, mempertahankan dan meningkatkan fungsi hutan dan lahan sehingga daya dukung, produktifitas, dan peranannya dalam mendukung sistem  penyangga kehidupan tetap terjaga.  Parotta (1993) dalam Setiawan (2003) menyatakan bahwa tujuan rehabilitasi ekosistem hutan yang m engalami degradasi ialah menyediakan, mempercepat berlangsungnya proses suksesi alami. Selain itu juga untuk menambah produktivitas biologis, mengur angi laju erosi tanah, menambah kesuburan tanah dan menambah kontrol biotik terhadap aliran biogeokimia dalam ekosistem yang ditutupi tanaman. Kata reklamasi berasal dari kata  to reclaim  yang bermakna to bring back to proper state , sedangkan arti umum reklamasi  adalah the making of land fit for cultivation.  Membuat keadaan lahan menjadi lebih baik untuk dibudidayakan,  atau membuat sesuatu yang sudah bagus menjadi lebih bagus, sama sekali tidak mengandung implikasi pemulihan ke kondisi asal tapi yang lebih diutamakan adalah fungsi dan asas kemanfaatan lahan. Arti demikian juga dapat diterjemahkan sebagai kegiatan-kegiatan yang bertujuan mengubah peruntukan sebuah lahan atau mengubah kondisi sebuah lahan agar sesuai dengan keinginan manusia (Young dan Chan, 1997 dalam Nusantara et al. 2004 ).
Kegiatan reklamasi meliputi dua tahapan, yaitu:
1.      Pemulihan lahan bekas tambang untuk memperbaiki lahan yang sudah terganggu ekologinya.
2.      Mempersiapkan lahan bekas tambang yang sudah diperbaiki ekologinya
untuk pemanfaatan selanjutnya.
Sasaran akhir dari reklamasi adalah terciptanya lahan bekas tambang yang  kondisinya aman, stabil dan tidak mudah tererosi sehingga dapat dimanfaatkan kembali sesuai dengan peruntukkannya.
2.3 Revegetasi
Revegetasi adalah usaha atau kegiatan penanaman kembali lahan bekas tambang (Ditjen RLPS). Setiadi (2006) menyatakan bahwa model revegetasi  dalam rehabilitasi lahan yang terdegradasi terdiri dari beberapa model antara lain  restorasi (memiliki aksentuasi pada fungsi proteksi dan konservasi serta  bertujuan untuk kembali ke kondisi awal), reforestasi dan agroforestri. Lebih lanjut lagi dinyatakan bahwa aktivitas dalam kegiatan revegetasi meliputi beberapa hal yaitu (i) seleksi dari tanaman lokal yang potensial, (ii) produksi bibit, (iii) penyiapan lahan, (iv) amandemen t anah, (v) teknik penanaman, (vi) pemeliharaan, dan (vii) program monitoring, Revegetasi yang sukses tergantung pada pemilihan vegetasi yang adaptif, tumbuh sesuai dengan karakteristik tanah, iklim dan kegiatan pasca penambangan. Vegetasi yang cocok untuk tanah berbatu termasuk klasifikasi herba, pohon dan rumput yang cepat tumbuh, sehingga dapat mengendalikan erosi tanah. Tumbuhan yang bersimbiosis dengan mikroorganisme tanah yang mampu memfiksasi nitrogen adalah salah satu vegetasi revegetasi lahan pasca tambang, seperti tanaman yang term asuk dalam famili Leguminoceaea (Vogel, 1987 dalam Setiawan, 2003).
Pada lahan bekas tambang, revegetasi merupakan sebuah usaha yang kompleks yang meliputi banyak aspek, tetapi juga memiliki banyak keuntungan. Beberapa keuntungan yang didapat dari revegetasi antara lain, menjaga lahan terkena erosi dan aliran permukaan yang deras; membangun habitat bagi satwaliar; membangun keanekaragaman jenis-jenis lokal; memperbaiki produktivitas dan kestabilan tanah; memperbaiki kondisi lingkungan secara biologis dan estetika; dan menyediakan tempat perlindungan bagi jenis-jenis lokal dan plasma nutfah (Setiadi, 2006).

2.4 Evaluasi Keberhasilan Revegetasi
Lahan disebut berhasil direstorasi dan bersifat swalanjut manakala dapat memenuhi kriteria-kriteria berikut  (i) persen daya hidup bibit yang ditanam adalah tinggi, (ii) pertumbuhan vegetasinya normal dan swalanjut, (iii) perkembangan akar dapat menembus tanah asli (yang berkepadatan tinggi) dan menjangkau bagian lain, (v) penutupan tajuknya cepat, terstratifikasi dan melebar, (v) lahan menghasilkan serasah yang melimpah dan terdekomposisi dengan cepat yang ditunjukkan dengan nisbah C:N yang cepat turun dan konstan, (vi) terjadi rekolonisasi spesies-spesies spesifik lokasi, dan (vii) tercipta habitat bagi beraneka jenis satwa liar. Setidak-tidaknya ada lima hal penting yang harus diingat sehubungan dengan restorasi yaitu (i) rekolonisasi, (ii) retensi hara dan air, (iii) salingtindak  biotik,  (iv) produktivitas, dan (v) keswalanjutan (Setiadi, 2004 dalam Nusantara  et al. 2004).
Setiadi (2006) menyebutkan beberapa faktor sebagai bahan evaluasi revegetasi antara lain, performa pertumbuhan dan kesesuaian jenis; kesinambungan dan tingkat pemenuhan kebutuhan diri oleh tanaman; peningkatan lingkungan mikro-habitat; pengurangan dampak terhadap lingkungan serta keuntungan bagi mayarakat sekitar. Sedangkan beberapa kriteria mengenai lahan revegetasi yang swalanjut antara lain: daya hidup anakan yang tinggi; pertumbuhan tanaman yang normal dan berkesinambungan; perkembngan akar yang telah mampu menembus lubang tanam; penutupan tajuk yang cepat, beragam dan berstratifikasi; produksi serasah yang banyak dan mudah terdekomposisi; dapat menghasilkan kolonisasi spesies lokal dan dapat menciptakan suasana yang cocok bagikehidupan satwa liar.


2.5 Suksesi dan Klimaks  
Suksesi adalah perubahan-perubahan langsung yang berkaitan dengan waktu dalam komposisi komunitas dan sifat-sifat ekosistem lainnya. Suksesi disebabkan dinamikan individu-individu di dalam ekosistem karena mereka berinteraksi satu sama lain dan dengan lingkungan fisik. Perubahan langsung dalam komposisi spesies timbul ketika individu-individu dari beberapa spesies digantikan oleh individu-individu dari spesies lain pada waktu individu pertama mati (McNaughton & Wolf 1990). Manan (1998) menyatakan bahwa suatu rangkaian perubahan masyarakat tumbuhan (jenis dan struktur) bersamaan dengan perubahan habitat tempat tumbuhnya. Perubahan ini tidaklah sembarangan, tetapi dapat diramalkan pola dan arahnya.
             Mekanisme perubahan dalam suksesi dapat dibedakan menjadi tiga tahap utama, yaitu (1) kolonisasi, (2) perubahan fisik lahan, dan (3) pergeseran spesies oleh kompetisi dan antibiosis. Sedangkan Clements dalam Mueller-Dombois and Ellenberg (1974) membedakan enam sub komponen dalam suksesi (a) nudasi, yaitu terbukanya areal baru; (b) migrasi, yaitu sampai dan tersebarnya biji di areal; (c) ecesis , yaitu proses perkecambahan, pertumbuhan dan perkembangbiakan tumbuhan baru; (d) kompetisi, yaitu proses yang mengakibatkan pergantian jenis-jenis tumbuhan; (e) reaksi, yaitu adanya proses perubahan habitat karena aktivitas jenis-jenis baru; dan (f) klimaks yang merupakan tingkat kestabilan komunitas.       Pendapat lain menyatakan bahwa suksesi dimulai dari  pioneer stage; menuju  consolidation sta ge; lalu  pada tingkatan sub klimaks dan berakhir pada klimaks. (Dansereau, 1957 dalam Barnes dan Spurr, 1980).  Freeman et al (1977) menyatakan bahwa kemampuan suatu ekosistem untuk mentoleransi penggunaan oleh manusia dan untuk pulih kembali setalah pemakaian sewenang-wenang,  sangat bervariasi bergantung pada faktor-faktor iklim dan biologi. Dan meskipun vegetasi masuk dengan cepat menempati kembali daerah yang terbuka, dan suksesi biasanya berjalan cepat, namun pemulihan hutan primer setelah gangguan hebat biasanya berjalan lambat. Hal ini sebagian karena kerumitan hutan hujan klimkas dan jaringan hubungan tumbuhan dan hewan yang rumit memperhambat pemulihan setelah mengalami gangguan.
2.6  Tanah Bekas Lahan Tambang
Peningkatan kualitas fisik tanah pada  lahan bekas tambang yang telah direvegetasi selama 8 dan 12 tahun. Tekstur tanah bekas tambang termasuk kelas lempung berpasir (sandy loam ) dengan kandungan pasir 55-59%, debu 24-27% dan liat 17-19%.  Di stribusi ukuran partikel tanah yang demikian suda h memenuhi persyaratan untuk lahan pertanian tanaman pangan yang mensyaratkan kisaran tekstur antara liat sampai lempung berpasir (Djaenuddin et al ., 1994).
Dalam hubungannya dengan pertanian tanaman pangan, tekstur tanah berpengaruh terhadap kemudahan dalam pengolahan tanah, ketersediaan air bagi tanaman, dan penentuan kebutuhan nitrogen bagi tana man.  Tanah yang bertekstur pasir, misalnya, mudah diolah namun kur ang mampu menyediakan air bagi tanaman, kondisi sebaliknya terjadi pada  tanah bertekstur liat (Hermawan,
2002).  Dalam hubungannya dengan kebut uhan nitrogen, tanah dengan kandungan pasir kurang dari 65% membutuhkan nitrogen antara 100 sampai 200 kg/ha (Hermawan  et al.,  2000), sedangkan apabila kandungan pasir diatas 70% maka nitrogen yang di butuhkan lebih dari 200 kg/ha (Wu  et al., 2010). 
Berat volume, porositas total dan resistensi penetrasi merupakan tiga variabel yang berhubungan dengan kepada tan tanah.  Hasil penelitian pada Tabel 1 menunjukkan bahwa tingkat kepadatan tanah pada lahan bekas tambang batubara yang telah direklam asi selama 12 tahun relatif sesuai untuk pertumbuhan tanaman pangan.   Tingkat kepadatan tanah bekas tambang tersebut lebih rendah dibandi ngkan ketika vegetasi reklamasi baru berumur 8 tahun.  Hal ini menunjukkan bahwa pertumbuhan vegetasi reklamasi berdampak positif dalam menurunkan kepadatan tanah sehingga sesuai untuk pertumbuhan tanaman  pangan.  Meskipun demikian, tindakan pengolahan tanah tetap harus dilakukan ketika lahan bekas tambangdialihfungsikan menjadi lahan pertania n tanaman pangan karena setiap jenis tanaman memiliki respon yang berbeda terhadap kepadatan (Batey, 2009).
Air tanah yang tersedia bagi sebagian besar tanaman adalah air yang tersisa di dalam ruang pori setelah dihi sap atau ditekan keluar dari dalam tanah dengan gaya sebesar 0,1 sampai 15  bar.  Kadar air tanah yang diteliti ketika pengukuran di lapangan adalah 36 sampai 38%, dan setelah mengalami proses evaporasi selama 5 dan 11 hari maka kadar air tanah pada kedua waktu tersebut turun masing- masing menjadi 26 sampai 27% dan 12 sampai 13%.  Untuk tanah bertekstur lempung berpasir, ketiga kisaran kadar air tersebut setara dengan tekanan sebesar masing-masing 0,1, 10 dan 100 bar.  Dengan demikian, air yang tersisa di dalam tanah setelah menerima tekanan antara 0,1 sampai 100 bar, sebagaimana ditemui pada lahan yang diteliti, masih termasuk kategori air tersedia bagi tanaman termasuk tanaman pangan.

2.7 Kualitas Tanah Bekas Tambang
Peningkatan kualitas kimia tanah pada lahan bekas tambang setelah direklamasi selama 8 dan 12 tahun disajikan pada Tabel 2.  Derajat kemasaman tanah sudah berada pada kisaran yang sesuai untuk tanaman pangan, dimana pH berkisar antara  4,3 sampai 4,5 untuk umur vegetasi 8 tahun dan 4,2 sampai 4,3 untuk umur vegetasi 12 tahun.  Padi sawah dan padi gogo dapat tumbuh baik pada kisaran pH 4,0 sampai 8,5 meskipun pertumbuhan optimum akan dicapai pada kisaran pH 5,0 sampai 8,0, sementara jenis tanaman pangan non-padi menghendaki kisaran pH 4,5 sampai 8,5 (Djaenuddin  et al ., 1994; Islami dan Utomo, 1995). Dengan demikian, lahan bekas tambang yang diteliti baru memiliki tingkat kemasaman tanah yang sesuai untuk tana man padi.  Pemberian kapur mutlak dilakukan untuk menurunkan derajat kema saman agar lahan tersebut dapat digunakan untuk jenis tanaman pangan selain padi. Kandungan karbon organik (C-organik) tanah pada pada lahan yang telah direklamasi selama 8 dan 12  tahun sudah meningkat ke level yang sesuai untuk tanaman pangan (diatas 0,8%).  Meskipun demikian, tanah akan rentan terhadap pemadatan karena memiliki struktur yang tidak stabil apabila kandungan C-organik kurang dari 2%  (Hermawan, 1995).  Selain itu, tanaman pangan akan tumbuh secara optimum apabila kandungan karbonorganik berada diatas 5% (Taylor  et al., 2010).  Penambahan bahan organik tetap harus dilakukan apabila lahan bekas tambang yang diteliti akan dialihfungsikan menjadi lahan pertanian tanaman pangan.  
Tabel 1. Kesesuaian variabel fisik tanah pada lahan timbunan bekas tambang yang telah direvegetasi  selama 8 dan 12 tahun untuk tanaman pangan.











Tabel 2. Kesesuaian variabel ki mia tanah pada lahan timbunan bekas tambang yang telah direvegetasi  selama 8 dan 12 tahun untuk tanaman pangan.
Kandungan nitrogen, fosfor dan kalium pada lahan bekas tambang masih tergolong sangat rendah sampai rendah meskipun sudah dinyatakan sesuai untuk budidaya tanaman pangan.  Pemberian pupuk nitrogen, fosfor dan kalium sangat direkomendasikan mengingat tanaman pangan membutuhkan ketiga unsur hara tersebut dalam jumlah yang besar.
Secara singkat, karakteristik dan potensi lahan pertambangan, khususnya tambang batubara di daerah ini adalah umumnya berada pada daerah perbukitan lipatan dan angkatan dari batuan sedimen masam (batupasir, batuliat, serpih dan batulumpur) adalah:
a. Bentuk wilayah umumnya berbukit dan sedikit bergelombang. Lahan berbukit dengan lereng > 15% lebih dominan dari pada Iahan datar sampai berombak dan bergelombang.
b. Tanah pada timbunan bekas tambang bertekstur halus, masif, porositas sangat rendah sehingga mudah menggenang jika hujan, pH tanah masam.
c. Potensi lahan lebih sesuai untuk tanaman tahunan karet dan kelapa sawit termasuk jenis kayu-kayuan (misal sengon dan akasia) pada lahan berlereng. Pada lahan datar bekas timbunan lebih sesuai untuk padi sawah dari pada palawija lahan kering. 
d. Perbaikan terhadap kondisi tanah yang massif adalah dengan pemberian bahan organik atau pupuk kandang disertai pengemburan tanah agar tercipta aerasi tanah yang lebih baik. Pemberian pupuk buatan anorganik mutlak diperlukan karena kesuburannya sangat rendah. Lahan-lahan yang potensial untuk pertanian baik yang telah diberi ijin lokasi perkebunan maupun pada lahan APL termasuk lahan HP jika dibutuhkan tidak dibiarkan terlantar dan akan terdegradasi oleh proses erosi. Perlu adanya suatu ketegasan dan kebijakan dari daerah maupun pusat agar dimanfaatkan secara optimal secara terkend.ali dan berkelanjutan. Lahan-lahan bekas tambang yang potensial untuk pertanian dapat dimanfaatkan dengan suatu perlakuan khusus, terutama pemanfaatn bahan organik. Luas dan penyebaran secara akurat dari lahan bekas tambang untuk dapat diketahui potensinya perlu dilakukan pada identifikasi dan pemetaan tingkat semi detail minimal berskala 1:25.000.
BAB 3. PEMBAHASAN

3.1  Gambaran Reklamasi dan Revegetasi
A.  Reklamasi 
Reklamasi bekas tambang merupakan usaha memperbaiki atau memulihkan kembali lahan dan vegetasi dalam kawasan hutan yang rusak sebagai akibat kegiatan usaha pertambangan dan energi agar dapat berfungsi secara optimal sesuai dengan peruntukannya. Kegiatan ini dimaksudkan untuk memulihkan, mempertahankan dan meningkatkan fungsi hutan dan lahan sehingga daya dukung, produktifitas, dan peranannya dalam mendukung sistem  penyangga kehidupan tetap terjaga.  Selain itu juga untuk menambah produktivitas biologis, mengur angi laju erosi tanah, menambah kesuburan tanah dan menambah kontrol biotik terhadap aliran biogeokimia dalam ekosistem yang ditutupi tanaman. Membuat keadaan lahan menjadi lebih baik untuk dibudidayakan,  atau membuat sesuatu yang sudah bagus menjadi lebih bagus, sama sekali tidak mengandung implikasi pemulihan ke kondisi asal tapi yang lebih diutamakan adalah fungsi dan asas kemanfaatan lahan. Kegiatan reklamasi meliputi:
1.    Penyiapan Lahan
Lahan marginal tersebut belum sepenuhnya mencapai tingkat kesesuaian  yang sempurna, karena beberapa variabel masih dalam kondisi marjinal  dan memerlukan perhatian tersendiri. Variabel-variabel yang harus diperhatikan apabila lahan bekas tambang akan dialihfungsikan menjadi lahan pertanian adalah kepadatan tanah, kemasaman tanah (pH), dan ketersedi aan unsur hara fosfor.   Kepadatan tanah, yang dalam penelitian ini diperlihatkan oleh nilai resistensi penetrasi, berpengaruh terhadap laju pertumbuhan akar tanaman  dan pergerakan air di dalam tanah.  Masih tingginya nilai resistensi penetrasi pada lahan bekas tambang dapat menghambat pertumbuhan tanaman pertanian apabila tidak dilakukan tindakan pengelolaan yang tepat.  Sementara kemasaman tanah yang masih relatif tinggi dan kandungan fosfor yang rendah perlu diatasi agar faktor-faktor pendukung pertumbuhan tanaman ya ng lain dapatbekerja secara optimal.
Tanah pada lahan bekas tambang memerlukan tindakan pengolahan secara intensif, terutama ketika baru  pertama kali diusahakan untuk tanaman pertanian.  Tindakan diperlukan untuk menghilangkan kepadatan tanah yang belum sepenuhnya teratasi melalui penanaman vegetasi reklamasi.  Mengingat lahan yang diteliti memiliki kandungan pasir yang cukup tinggi (di atas 50%), dalam jangka panjang tindakan pengolahan tanah intensif tersebut dapat dikombinasi dengan teknik-teknik pengolahan tanah konservasi seperti olah tanah minimum dan tanpa olah tanah.  Pengurangan intensitas pengolahan dapat dilakukan pada tanah-tanah berpasir karena proses pemadatan pada jenis tanah tersebut lebih  lambat dibandingkan pada tanah-tanah bertekstur halus. Kegiatan penyiapan lahan meliputi:
a.    Rekontruksi Tanah
Untuk mencapai tujuan restorasi perlu dilakukan upaya seperti rekonstruksi lahan dan pengelolaan tanah pucuk. Pada kegiatan ini, lahan yang masih belum rata harus terlebih dahulu ditata dengan penimbunan kembali (back filling) dengan memperhatikan jenis dan asal bahan urugan, ketebalan, dan ada tidaknya sistem aliran air (drainase) yang kemungkinan terganggu. Pengembalian bahan galian ke asalnya diupayakan mendekati keadaan aslinya. Ketebalan penutupan tanah (sub-soil) berkisar 70-120 cm yang dilanjutkan dengan re-distribusi tanah pucuk
b.    Perataan dan Perapihan Lahan
Perataan dan perapihan lahan perlu dilakukan agar tanah atas (topsoil) tetap berada di posisinya untuk menghindari erosi lebih lanjut.
c.    Pengapuran
Pemberian kapur pertanian dan  penambahan pupuk fosfor harus dilakukan pada lahan bekas tambang yang akan dimanfaatkan untuk lahan pertanian tanaman pangan.  Dosis  dan jenis bahan kapur dan pupuk yang digunakan dapat disesuaikan dengan  ketersediaan yang ada serta dengan jenis komoditas yang diusahakan.  Meskipun kandungan nitrogen dan kalium  berada pada harkat yang lebih tinggi dibandingkan fosfor, penambahan kedua unsur tersebut juga dibutuhkan untuk menjaga keseimbangan hara di dalam tanah setelah sebagian terangkut oleh tanaman pada saat panen. Pengembalian sisa-sisa tanaman ke dalam tanah dapat mengembalikan unsur hara dan mengurangi jumlah pupuk yang diberikan.  
d.   Penggemburan Lahan
Penggemburan lahan diperlukan agar tanah menjadi lebih subur. Hal-hal yang perlu dilakukan pada kegiatan ini adalah: penambahan pupuk, penambahan mikroorganisme.
2.    Menanam Tanaman Cover Crop atau Tanaman Pioner
Beragam jenis tumbuhan dapat digunakan sebagai tumbuhan penutup tanah. Pada awalnya, yang digunakan adalah uraso (Sacharum sp), tetapi mulai tahun 2003, penggunaan uraso telah diganti oleh signal grass  (Brachiaria decumbens). Bersamaan dengan itu, dilakukan juga secara bertahap penggantian uraso (Sacharum sp) di lapangan dengan  signal grass (Brachiaria decumbens) untuk tegakan tahun 2003 ke atas.
Grafik 1. Persentase penutupan tajuk dan penutupan tanah oleh cover crops
           
Signal grass  (Brachiaria decumbens) digunakan karena memiliki sifat yang dapat cepat tumbuh menutupi lahan, dapat berkembang pada daerah yang miskin hara dan dapat mengontrol erosi (Shelton, 2007). Tetapi, seperti halnya uraso (Sacharum sp) yang memiliki penutupan lahan sangat rapat, keberadaannya dapat menghambat terjadinya  rekolonisasi. Rekolonisasi pada tegakan 2003 ke atas, diduga terjadi pada saat masa penggantian tanaman penutupan tanah itu. Dimulai tahun 2005, kombinasi dari beberapa tanaman yaitu Wynn cassia, burgundi, jenis Leguminaceae , Crotalaria sp.  mulai dipergunakan sebagai tumbuhan penutup tanah. Leguminaceae dipilih karena dapat menambah N tanah, tidak berkompetisi dengan tanaman pokok, juga beberapa jenisnya sangat toleran terhadap tanah miskin (Hadjowigeno, 1987).
Penutupan lahan oleh  signal grass  (Brcahiaria decumbens), telah menghasilkan reduksi erosi yang cukup baik. Pada areal Ponsesa tahun tanam 1999 ditemukan situs erosi alur yang tidak aktif karena telah tertutupi oleh tumbuhan penutup tanah. Dalam artian bahwa kemungkinan erosi itu terjadi pada saat lahan belum tertutupi dengan baik oleh tumbuhan penutup tanah dan intensitasnya lambat laun berkurang seiring perkembangan tumbuhan penutup tanah.  Water log dapat ditemukan pada areal muda dengan tahun tanam 2006 dan 2007 yang terdapat di luar tegakan.
Penutupan tanah oleh tumbuhan penutup tanah berkaitan erat dengan kondisi serasah juga penutupan tajuk. Semakin rapat penutupan tajuk, maka akan semakin rendah persentase penutupan tanah dan dapat menyebabkan serasah langsung jatuh ke tanah yang memudahkan untuk terjadinya dekomposisi.
Penggunaan cover crop pada tahap rekalamasi di lahan bekas tambang mempunyai fungsi untuk:






1.    Meningkatkan kesuburan dan kelembaban tanah.
2.    Sebagai habitat awal fauna
3.    Tempat tumbuh tanaman lain yang bijinya terbawa oleh fauna/binatang



Gambar 1. Poeraria Javanicum


Keuntungan menanam rumput teki (Cyperus rotundus) sebagai tanaman pioner:
>> umbinya mahal
>> rumputnya buat pakan ternak

Gambar 2. Rumput Teki (Cyperus rotundus)

Keuntungan Rumput Signal (Brachiaria decumbens):
>> produktivitasnya tinggi
>> toleran terhadap kesuburan tanah yang rendah
>> tahan hama penyakit
>> dapat mengendalikan erosi.

. Gambar 3. Signal Grass


B.  Revegetasi
Revegatasi adalah kegiatan penanaman kembali pada lahan bekas tambang sebagai usaha memenghindari erosi lahan, membangun habitat bagi satwa liar, biodiversitas, memperbaiki produktivitas dan kestabilan tanah, memperbaiki kondisi lingkungan. Model revegetasi  dalam rehabilitasi lahan yang terdegradasi terdiri dari beberapa model antara lain  restorasi (memiliki aksentuasi pada fungsi proteksi dan konservasi serta  bertujuan untuk kembali ke kondisi awal), reforestasi dan agroforestri. Tujuan revegetasi ini menjaga lahan terkena erosi dan aliran permukaan yang deras; membangun habitat bagi satwaliar; membangun keanekaragaman jenis-jenis lokal; memperbaiki produktivitas dan kestabilan tanah; memperbaiki kondisi lingkungan secara biologis dan estetika; dan menyediakan tempat perlindungan bagi jenis-jenis lokal dan plasma nutfah
Perbaikan kondisi tanah meliputi perbaikan ruang tubuh, pemberian tanah pucuk dan bahan organik serta pemupukan dasar dan pemberian kapur. Kendala yang dijumpai dalam merestorasi lahan bekas tambang yaitu masalah fisik, kimia (nutrients dan toxicity), dan biologi. Masalah fisik tanah mencakup tekstur dan struktur tanah. Masalah kimia tanah berhubungan dengan reaksi tanah (pH), kekurangan unsur hara, dan mineral toxicity. Untuk mengatasi pH yang rendah dapat dilakukan dengan cara penambahan kapur. Sedangkan kendala biologi seperti tidak adanya penutupan vegetasi dan tidak adanya mikroorganisme potensial dapat diatasi dengan perbaikan kondisi tanah, pemilihan jenis pohon, dan pemanfaatan mikroriza.
Secara ekologi, spesies tanaman lokal dapat beradaptasi dengan iklim setempat tetapi tidak untuk kondisi tanah. Untuk itu diperlukan pemilihan spesies yang cocok dengan kondisi setempat, terutama untuk jenis-jenis yang cepat tumbuh misalnya sengon, yang telah terbukti adaptif untuk tambang. Dengan dilakukannya penanaman sengon minimal dapat mengubah iklim mikro pada lahan bekas tambang tersebut. Untuk menunjang keberhasilan dalam merestorasi lahan bekas tambang, maka dilakukan langkah-langkah seperti perbaikan lahan pra-tanam, pemilihan spesies yang cocok, dan penggunaan pupuk.
Untuk mengevaluasi tingkat keberhasilan pertumbuhan tanaman pada lahan bekas tambang, dapat ditentukan dari persentasi daya tumbuhnya, persentasi penutupan tajuknya, pertumbuhannya, perkembangan akarnya, penambahan spesies pada lahan tersebut, peningkatan humus, pengurangan erosi, dan fungsi sebagai filter alam. Dengan cara tersebut, maka dapat diketahui sejauh mana tingkat keberhasilan yang dicapai dalam merestorasi lahan bekas tambang (Rahmawaty, 2002). Kegiatan revegetasi dilahan bekas tambang yang dapat menunjang keberlajutannya sistem pertania antara lain:
1.    Introduksi Tanaman Keras
Berikut tabel pertumbuhan dengan beberapa species tanaman yang dilakukan.
 
Beberapa tanaman yang mencapai persen tumbuh 100% pada tahun ketiga merupakan tanaman pionir lokal yaitu Sandro (Sandoricum kacappeae) dan Uru (Elmerelia sp). Hal itu menandakan bahwa karakteristik lahan sudah cukup baik bagi tumbuhnya jenis-jenis lokal. Dan juga sudah sejalan dengan peraturan pemerintah yang mengharuskan penanaman jenis lokal di areal bekas  tambang. Beberapa hal yang dapat menjadi faktor meningkatnya pertumbuhan, antara lain persiapan lahan yang baik serta kondisi bibit yang memiliki daya tahan yang baik juga perakaran yang menunjang
Revegetasi yang sukses tergantung pada pemilihan vegetasi yang adaptif, tumbuh sesuai dengan karakteristik tanah, iklim dan kegiatan pasca penambangan. Vegetasi yang cocok untuk tanah berbatu termasuk klasifikasi herba, pohon dan rumput yang cepat tumbuh, sehingga dapat mengendalikan erosi tanah. Tumbuhan yang bersimbiosis dengan mikroorganisme tanah yang mampu memfiksasi nitrogen adalah salah satu vegetasi revegetasi lahan pasca tambang, seperti tanaman yang term asuk dalam famili Leguminoceaea.
.Grafik 2. Pertumbuhan tanaman di lahan bekas tambang

Pada setiap areal yang diamati, rekolonisasi sudah terjadi dalam skala kecil. Pada umumnya, rekolonisasi yang terjadi didominasi oleh liana tak berkayu dari jenis  Mikania micrantha. Jenis ini sangatlah mudah untuk tumbuh dan merambat melalui mekanisme fototaksis. Penyebarannya pun relatif cepat, karena biji dari Mikania micrantha ini sangat kecil dan mudah untuk terbawa angin (ISSG, 2005). Dengan kondisi seperti itu, maka tidak mengherankan jika jenis ini sangat mudah ditemukan di seluruh areal revegetasi kecuali di Daerah Butoh (tahun tanam 1985) dan Koro serta Petea dengan tahun tanam masing-masing 2007 dan 2006. Tumbuhnya jenis Mikania micrantha ini diduga berasal dari kompos yang digunakan pada saat persiapan lahan dan penanaman. Akan tetapi,  seiring berjalannya waktu, penyebaran jenis ini yang sangat cepat dan invasif, menjadikan jenis ini memiliki dampak negatif terhadap program revegetasi yaitu dengan cara menjadi gulma dan dapat menghambat pertumbuhan tanaman pokok.
2.    Penerapan Agrosilvopastura
 Agrosilvopastura merupakan kombinasi antara tanaman pertanian, tanaman kehutanan, dan peternakan. Agrosilvopastura diterapkan setelah proses reklamasi selesai dilakukan. Untuk penerapan pada lahan bekas tambang diawali dengan penanaman rumput teki sebagai tanaman pioner untuk awalan, karena tanaman rumput teki memiliki kemampuan bertahan hidup dalam kondisi tanah yang miskin unsur hara. Pertumbuhannya normal meskipun dalam kondisi kritis, dan dapat menghasilkan umbi yang memiliki gizi yang baik, mudah tumbuh, dan budidayanya tidaklah sulit, serta harga umbinya tinggi dan bisa diperjualbelikan. Lalu, ketika tanah sudah memiliki cukup unsur hara, dapat dilakukan penanaman budidaya jangka panjang seperti tanaman kehutanan, contoh tanaman kayu-kayuan seperti sengon, karet, jati, dll. Setelah itu bisa ditambah fungsinya di bidang peternakan, seperti pemeliharaan ternak yang biasa hidup dengan memakan apa yang ada disekitar lahan, sehingga tidak sulit untuk memperolehnya. Proses ini sangat terkait dan saling bersinergis sehingga ada perputaran siklus untuk kehidupan jangka panjang dan prosesnya akan berkelanjutan bagi objek-objek yang ada pada suatu populasi di lahan bekas tambang yang telah dibudidayakan tersebut.
            Untuk menerapkan sistem ini memang butuh proses intensif yang cukup lama, karena ukuran lahan yang akan direvolusi cukup luas dan butuh dana investasi yang cukup banyak. Namun dengan sistem agrosilvopastura lahan bekas tambang yang sebelumnya adalah lahan yang miskin akan berevolusi menjadi lahan hijau yang lebih baik dan meningkatkan kebutuhan pangan untuk negeri ini.
            Agrosilvikultur secara agroekologi sangat menunjang berjalannya sistem pertanian yang berkelanjutan. Dimana pada sistem ini perpaduan antar tanaman pertanian, kehutanan, dan ternak dalam satu lahan dapat meningkatkan interaksi biologi dalam suatu ekosistem. Pemilihan agrosilvikultur sebagai salah satu upaya revegetasi pada lahan bekas tambang karena dinilai merupakan solusi yang baik. Tanaman kehutanan dapat menahan erosi hebat dari lahan bekas tambang. Sedangkan tanaman pertanian merupakan pengahasilan bagi penduduk sekitar. Dan hewan ternak dapat dimanfaatkan kotorannya sebagai bio-fertilizer. Secara spesifik berikut disajaikan analisis keberlanjutan sistem agrosilvikultur di lahan bekas tambang ditinjau dari segi ekonomi, ekologi, dan sosial budaya.
A.  Analisis ekonomi:
-          Lahan bekas tambang yang merupakan lahan marginal dimanfaatkan untuk kegiatan pertanian dan peternakan, secara ekonomi pasti mendatangkan keuntungan tersendiri dari kegiatan budidaya ini.
-          Secara otomatis kegiatan budidaya di lahan bekas tambang dapat meningkatkan pendapatan penduduk lokal secara berkelanjutan.
-          Ketahanan pangan dapat terpenuhi karena memadukan tanaman pertanian dalam kegiatan budidayanya.
-          Hasil dari kegiatan budidaya di lahan marginal juga mampu bersaing dengan produk berkualitas lainnya dengan pengolahan yang benar.
-          Secara nasional menguntungkan karena dapat membantu melaksanakan pembangunan nasional dengan memanfaatkan sumberdaya yang ada.
B.  Analisis ekologi:
-          Dengan pemanfaatan lahan gambut untuk kegiatan pertanian berarti menyediakan tempat tinggal bagi flora dan fauna sehingga biodeversitas semakin meningkat.
-          Kotoran hewan dan tanaman di lahan bekas tambang dapat membantu dalam menyuburkan tanah, bahkan dapat memperbaiki sifat fisik, kimia, dan biologi tanah yang telah rusak akibat kegiatan pertambangan.
-          Tanaman dilahan gambut dapat menjadi filter bagi air sehingga kualitas air di lahan bekas tambang semakin meningkat, selain itu akar tanaman dapat membantu dalam menyimpan air serta menahan terjadinya erosi.
-          Budidaya di lahan bekas tambang dapat mengurangi zat beracun yang dihasilkan dari kegiatan pertambangan.
-          Secara etetika, keberadaan sistem agrosilvopastura dapat mempengaruhi landscape menjadi lebih baik dari pada kondisi ketika lahan bekas tambang yang tidak dimanfaatkan.
-          Iklim mikro sekitar lahan pertanaman bekas tambang lebih terjaga dan stabil.
-          Tercipta interaksi biologi yang sangat erat dari kegiatan revegetasi di lahan bekas tambang.
C.  Analisis Sosial-Budaya
-          Biasanya di lahan marginal penduduknya masih berada di bawah garis kemiskinan, dengan aplikasi agrosilvopastura dapat melibatkan masyarakat dalam kegiatannya sehingga dapat meningkatkan pendapatan mereka.
-          Dapat menciptakan lapangan kerja bagi masyarakat lokal khususnya.
-          Agrosilvopastura merupakan salah satu teknologi pertanian yang aman dan ramah lingkungan.
-          Dapat meningkatkan kesejahteraan penduduk.
-          Dapat menekan akibat buruk dari kegiatan pertambangan.

3.2 Budidaya di Lahan Bekas Tambang
A. Manajemen Pengairan
Drainase pada lingkungan pasca tambang dikelola secara seksama untuk menghindari efek pelarutan sulfida logam dan bencana banjir yang sangat berbahaya, dapat menyebabkan rusak atau jebolnya bendungan penampung tailing serta infrastruktur lainnya. Kapasitas drainase harus memperhitungkan iklim dalam jangka panjang, curah hujan maksimum, serta banjir besar yang biasa terjadi dalam kurun waktu tertentu baik periode waktu jangka panjang maupun pendek.
Arah aliran yang tidak terhindarkan harus meleweti zona mengandung sulfida logam, perlu pelapisan pada badan alur drainase menggunakan bahan impermeabel. Hal ini untuk menghindarkan pelarutan sulfida logam yang potensial menghasilkan air asam tambang
                       




Gambar 4. Penanganan drainase lahan bekas tambang emas Mesel, Minahasa, Sulawesi Utara
B.  Manajemen Pemupukan
            Untuk menunjang pertanian berkelanjutan, pupuk yang digunakan berupa pupuk organik. Pemberian pupuk organik bertujuan untuk memperbaiki sifat fisika dan biologi tanah selain itu juga ditujukan untuk memberikan tambahan unsur hara kedalam tanah, terutama unsur nitrogen. Pupuk organik didapat dari kotoran hewan ternak dan kotoran dari tanaman berupa ranting, daun, dll. Bahan pupuk tersebut dapat diolah menjadi pupuk kompos. Selain itu, dapat pula ditambahkan pupuk mikoriza. Dengan mikoriza dapat membantu menyerap pupuk P lebih tinggi (10-27%).



BAB 4. PENUTUP

4.1    Kesimpulan
1.    Reklamasi merupakan usaha memperbaiki atau memulihkan kembali lahan dan vegetasi dalam kawasan hutan yang rusak sebagai akibat kegiatan usaha pertambangan dan energi.
2.    Revegetasi adalah usaha atau kegiatan penanaman kembali lahan bekas tambang.
3.    Kegiatan revegetasi meliputi seleksi dari tanaman lokal yang potensial, produksi bibit, penyiapan lahan, manajemen tanah, teknik penanaman, pemeliharaan, dan program monitoring.
4.    Berdasarkan analisis ekonomi, ekologi, dan sosial budaya, agrosilvopastura termasuk penerapan sistem pertanian berkelanjutan.
5.    Budidaya tanaman pada lahan bekas tambang dinilai kurang cocok karena proses untuk menyuburkan tanah dibutuhkan waktu yang cukup lama sekitar 8-12 tahun.

4.2    Saran
Saran yang diberikan pada usaha budidaya tanaman pada lahan bekas tambang ini adalah sangat perlu untuk dipraktikkan mengingat lahan bekas tambang di Indonesia semakin luas dan tidak berdayaguna lagi untuk itu perlu diadakan reklamasi dan revegetasi untuk jangka panjang yang lebih baik dan untuk memenuhi ketahanan pangan di Indonesia.








DAFTAR PUSTAKA

Departemen Kehutanan, Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan  Sosial. 1997. Pedoman Reklamasi Lahan Tambang. Jakarta : Dephut.
Daniel TW, JA Helms dan FS Baker. 1987. Prinsip-Prinsip Silvikultur. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Departement of Industry Tourism and Resources, Australian Government.2006. Mine Rehabilitation: Leading Practice Sustainable Development Program for The Mining Industry. Commonwhealth of Australia.
Hardjowigeno S. 1995. Ilmu Tanah (Edisi Revisi). Akademika Pressindo. Jakarta.
Mueller-Dombois D, Ellenberg H. 1974. Aims and Method of Vegetation Ecology (Wiley International Edition). John Wiley and Sons, Inc. United States of America.
Setiawan IE. 2003. Evaluasi Tingkat Keberhasilan Revegetasi Pada Lahan Bekas Tambang Timah PT. KOBA TIN, Koba, Bangka- Belitung. Skripsi. Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan. Fakultas Kehutanan.
Soerianegara I, Indrawan A. 1987. Ekologi Hutan Indonesia. Laboratorium Ekologi Hutan. Fakultas Kehutanan IPB, Bogor.
Sutisna U, Karlina T, Purnadjaja. 1998. Pedoman Pengenalan Pohon Hutan Indonesia. Yayasan PROSEA, Bogor dan Pusdiklat Pegawai & SDM Departemen Kehutanan. Bogor. IPB.



2 komentar: